Dimana sangat mengherankan Indonesia masuk di peringkat ke-70 harganya 1,293 USD (Rp.19.925,-) padahal Indonesia masuk negara penghasil minyak terbesar nomor 3 di Asia dan juga penghasil gas terbesar di Asia.
"Bahkan menurut Dirut Pertamina sejak April 2019 Indonesia sudah tidak lagi mengimpor solar dan sudah bisa menghasilkan solar sendiri, seharusnya harga solar di Indonesia bisa lebih rendah dari negara Malaysia," kata BHS.
BHS katakan di Indonesia BBM Oktan 95 pun masuk peringkat ke-50 di dunia dari peringkat 1. Venezuela yang hanya 0,022 USD (Rp.327,-), peringkat 2. Libya hanya 0,033 USD (Rp.447,-), peringkat 10. Malaysia hanya 0,457 USD (Rp. 6.809,-) jauh dari Indonesia, sedangkan Indonesia peringkat ke-50 mempunyai besaran 1,167 USD atau setara dengan Rp. 17.540,-, padahal Indonesia merupakan negara penghasil minyak jauh lebih besar dari Malaysia yang hanya sekitar 60% nya saja.
"Ini harusnya menjadi satu penilaian pemerintah terhadap pertamina yang kurang bisa maksimal memberikan pelayanan terbaik terutama mengusahakan untuk mengimpor BBM subsidi dengan harga murah, karena kuota dan harga BBM subsidi saat ini tidak rasional, maka saya MENOLAK untuk harga BBM Subsidi harganya dinaikkan saat ini, tetapi bila kondisi anggaran APBN terbatas, maka pemerintah saat ini tidak perlu menaikkan harga BBM bersubsidi tetapi mengalihkan sisa kuota BBM subsidi fokus untuk transportasi publik dan logistik baik massal dan tidak massal terutama di transportasi laut, karena jargon Bapak Jokowi adalah Maritim termasuk nelayan dan petani menjadi prioritas BBM subsidi serta kebutuhan UMKM (industri kecil) agar perekonomian masyarakat tidak terpengaruh," kata BHS