Soal 23 Koruptor yang Bebas Bersyarat, Wamenkumham Cuma Bilang Begini

  • Bagikan
Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej. Foto: diambil dari setkabgoid

FAJAR.CO.ID, JAKARTA-- Pemberian pembebasan bersyarat terhadap 23 koruptor yang dilakukan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) disorot Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Pembebasan bersyarat terhadap 23 koruptor tersebut dinilai KPK sama saja mencederai semangat pemberantasan korupsi.

Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej atau lebih dikenal dengan Eddy Hiariej langsung memberi tanggapan terkait sorotan tersebut.

Menurutnya pembebasan bersyarat 23 narapidana korupsi atau koruptor sudah sesuai dengan aturan.

Pembebasan bersyarat terhadap 23 koruptor ditegaskannya sudah sesuai dengan UU Nomor 22/2022 tentang Pemasyarakatan.

"Pembebasan bersyarat, remisi, asimilasi, dan hak-hak terpidana yang merujuk kepada UU Nomor 22/2022, itu semua sudah sesuai dengan aturan," tegasnya di Istana Kepresidenan Jakarta, Kamis, 8 September 2022.

Pernyataan Eddy menyikapi adanya 23 narapidana kasus korupsi yang bebas bersyarat sejak Agustus hingga 6 September 2022.

Dia menekankan pemberian pembebasan bersyarat kepada narapidana hanya berlandaskan regulasi yang ada.

Menurutnya, UU Nomor 22 Tahun 2022 mengembalikan semua hak dari seorang terpidana tanpa suatu diskriminasi.

"Itu kan menjadi hukum yang positif. Jadi kita memberikan sesuai aturan," ujarnya.

Cederai Pemberantasan Korupsi

Sebelumnya Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri menilai para koruptor tak seharusnya mendapat fasilitas bebas bersyarat.

Ali menyebut para koruptor tak selayaknya mendapat perlakuan khusus.

"Dalam rangkaian penegakan hukum ini, sepatutnya tidak ada perlakuan-perlakuan khusus yang justru akan mencederai semangat penegakan hukum tindak pidana korupsi," ucapnya, Rabu, 7 September 2022.

Diakuinya, pembinaan para koruptor di tahanan atau paskaputusan pengadilan adalah kewenangan dan kebijakan dari Kemenkumham.

"Meski demikian, korupsi di Indonesia yang telah diklasifikasikan sebagai extraordinary crime, sepatutnya juga ditangani dengan cara-cara yang ekstra," tegasnya.

Termasuk, kata dia, pelaksanaan pembinaan di lembaga pemasyarakatan (lapas) sebagai bagian yang tak terpisahkan dari penegakan hukum itu sendiri.

"Penegakan hukum ini juga dimaksudkan untuk memberikan efek jera bagi para pelakunya agar tidak kembali melakukannya pada masa mendatang. Sekaligus pembelajaran bagi publik agar tidak melakukan tindak pidana serupa," kata Ali.

Ia menjelaskan bahwa KPK pun melalui kewenangan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi memiliki kebijakan untuk memberikan efek jera bagi para pelaku korupsi.

"Baik melalui pidana pokok penjara badan maupun pidana tambahan, seperti pencabutan hak politik ataupun merampas asetnya untuk memulihkan kerugian negara," kata Ali.

KPK mencatat hingga Agustus 2022 telah merampas aset (asset recovery) dari penanganan tindak pidana korupsi sebesar Rp303,89 miliar.

"Asset recovery tersebut berasal dari denda, uang pengganti, rampasan, penetapan status penggunaan putusan inkrah tindak pidana korupsi," ujar Ali.(fin/fajar)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan