FAJAR.CO.ID, MAKASSAR-- Hari Jadi Bone ke-691 pada 7 April 2022, jadi hari paling kelam bagi komunitas Bissu di Kabupaten Bone. Untuk pertama kalinya, pendeta suci itu tidak dilibatkan dalam proses peringatan daerah bekas Kerajaan Bone.
Padahal beberapa persiapan telah dilakukan oleh komunitas Bissu di Bone. Mulai dari ritual Bissu Pattappulo (40) hingga Mallekke wae (mengambil air) di tujuh sumur suci.
Pimpinan Bissu Puang Matowa Ancu menceritakan detail polemik yang terjadi di Hari Jadi Bone (HJB) ke-692 itu. Pihaknya terpaksa mundur karena tidak adanya kejelasan dari Pemerintah Kabupaten Bone.
"Saya memilih mundur karena tidak jelas alasannya apa dan mengapa. Saya sampai harus mengemis, karena ritual pencucian benda Arajang (kerajaan) adalah tanggungjawab saya," kata Puang Matowa Ancu.
Puan Matowa Ancu yang sudah menjadi bissu sejak tahun 1990-an itu mengatakan banyak ritual yang dilakukan pihaknya menyambut acara HJB. Mulai dari Massimang atau melapor ke raja atau bupati untuk meminta izin Mallekke wae (mengambil air) di tujuh sumur, lalu dikasih bermalam baru dinetralisir di wadah tujuh guci. Besoknya matteddu arajang (membangunkan arajang) sebelum diambil di tempat tidurnya, baru diiringi musik ke tempat mattompang atau panre besi yang dipercayakan untuk membersihkan.
Pelibatan Bissu dalam acara HJB kata Puan Matowa Ancu sudah menjadi kebiasaan sejak puluhan tahun. Dirinya sendiri sudah terlibat dalam proses itu sejak tahun 1991, hingga HJB ke 690. Selama itu, Bissu yang melakukan semua ritual dari Mallekke Wae hingga proses pembersihan benda pusaka.
Angel menyebutkan soal membawa baki sudah menjadi aturan adat. Bissu menawarkan berbagai solusi makanya bermohon di Dinas Kebudayaan, kalau tidak mau melihat berpakain baju bodoh, ada banyak pakaian lain dan juga tidak merias. Namun pada akhirnya, proses itu malah diberikan kepada Pasukan Pengibar Bendera (Paskibra).
"Kami sudah tawarkan beberapa solusi, tidak ada kejelasan. Soal Pak Gubernur yang larang saya pernah mendengar tapi tidak meyakini," ungkapnya.
Polemik di HJB ke-692 adalah puncak ketidakberpihakan pemerintah terhadap budaya yang justru telah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda sejak tahun 2011. Saat itu, Pemkab Bone sendiri melalui Dinas Kebudayaan Bone yang berhasil mendaftarkan Tari Sere Bissu Maggiri sebagai warisan budaya tak benda.
Di tahun 2020 kemarin, Pemkab Bone bahkan mendapatkan penghargaan atas tahapan ritual yang oleh UNESCO masuk sebagai warisan budaya tak benda pada 2020 lalu. Namun, warisan budaya tak benda itu justru tidak melibatkan Bissu.
Puang Matowa Ancu yang memiliki nama asli Syamsul Bahri itu membeberkan bagaimana sikap pemerintah terhadap keberadaan mereka. Mulai dari dukungan untuk berkegiatan hingga bantuan sosial.
"Hampir sudah tidak ada, saat ini kami berjuang sendiri untuk tetap bertahan. Jangankan bantuan dana, kesempatan untuk tampil di kegiatan-kegiatan resmi saja sudah ditiadakan," ungkapnya.
Untuk bertahan, Puang Ancu dan kawan-kawan mengaku mengandalkan pekerjaan sampingan. Ada yang berprofesi sebagai perias pengantin hingga membuka salon. Selain itu, uang yang mereka didapat saat dipanggil untuk hajatan oleh keluarga bangsawan disisihkan untuk kelangsungan kegiatan bissu lainnya.
"Beruntung dek, masih ada keturunan kerajaan atau bangsawan yang masih memanggil kami untuk memimpin Sere Bissu Maggiri. Sekarang terasa beda sekali, beda saat masih Pak SYL (mantan Gubernur Sulsel, Syahrul Yasin Limpo) kami masih sering dipanggil sampai di Rujab. Pernah juga dibawa ke Jakarta," tuturnya.
Terakhir, Puang Ancu dan beberapa kawannya mengikuti Gelaran Tenggarong International Folk Arts Festival (TIFAF) 2022 di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Tari Sere Bissu ini kemudian ditampilkan sebagai salah satu pengisi acara dalam pagelaran tersebut.
Salah satu panitia yang terlibat dalam peringatan HUT Bone ke-692 mengakui polemik tidak dilibatkannya Bissu Puang Matowa Ancu dan kawan-kawan dalam acara Mattompang Arajang muncul karena permintaan Gubernur Sulsel Andi Sudirman Sulaiman menolak Bissu.
"Dalam rapat, sempat memang ada permintaan seperti itu dari pihak protokol provinsi. Makanya panitia diminta buat variasi acara," kata PNS Pemkab Bone yang tak ingin namanya diberitakan.
Variasi acara yang dilakukan oleh pemkab saat itu adalah menugaskan paskibra membawa baki berisi benda pusaka Kerajaan Bone.
Dalam rekaman yang wawancara di halaman Rujab Bupati Bone usai menghadiri acara HUT Bone ke-692, Senin (28/3/2022), Gubernur Sulsel, Andi Sudirman Sulaiman sempat menjawab pertanyaan awak media soal ketidakikutsertaan bissu.
"Tanya panitia saja," singkatnya sambil memilih pergi tanpa ingin merespons soal Bissu yang disebut ditolak hadir di HJB ke-692.

Cuma Bisa Beri Fasilitas Latihan
Pemerintah Kabupaten Bone melalui Dinas Kebudayaan Bone mengatakan Tari Sere Bissu Maggiri adalah seni khas Bone. Sehingga pihak Disbud memberikan perhatian tertentu yakni menjadikannya sebagai seni binaan.
Sebagai wujud daripada pemosisiannya sebagai warisan budaya tak benda maka pihak Dinas Kebudayaan Bone menjadikan Sere Bissu Maggiri sebagai seni binaan yang penting. "Untuk itulah keberadaannya akan senantiasa terpelihara," kata Sekretaris Disbud Bone, Andi Murni melalui pesan singkat.
Dia menjelaskan selama ini komunikasi dengan komunitas bissu tetap berjalan dengan baik. Pihaknya hingga saat ini masih tetap memberikan fasilitas tempat latihan di Bolasoba. Latihan yang dimaksud pun cuma untuk persiapan Hari Jadi Bone (HJB).
Saat ditanya soal bantuan dana terhadap komunitas bissu, Andi Murni tak memberikan jawaban secara jelas. Terutama soal besaran anggaran.
Terkait polemik pada saat perayaan Hari jadi Bone ke-692. Senin (28/3/2022) lalu. Di mana, bissu tidak diikutkan sebagai pengisi acara, Andi Murni menyebut terjadi miskomunikasi. "Itu cuma miskomunikasi," ungkapnya.
Bissu Makin Hilang
Jika di Bone, bissu mengalami keterbatasan ruang gerak dan ekspresi oleh kebijakan pemerintah daerah. Di Kabupaten Pangkep, bissu justru terancam punah.
Kini tercatat hanya ada 8 bissu yang masih aktif di Kecamatan Segeri. Padahal dua tahun yang lalu tercatat masih ada 11 bissu. Berkurangnya jumlah bissu itu dikarenakan meninggal dunia.
Yang masih ada saat ini, mereka adalah Wa'nani (Puang Matowa), Juleha (Puang Lolo), Bissu Pajja, Bissu Sale, Bissu Nisa, Bissu Usman, Bissu Usman dan Bissu Mus.
Puang Matowa Wa'nani mengakui kesulitan mencari penerus. Saat ini, kata dia sangat sedikit generasi muda yang bisa jadi bissu.
"Sedikit mami kodong. Tidak ada yang mau, dan memang harus lewati ritual," ungkap Puang Wa'nani.
Soal dukungan Pemkab Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep), Wa'nani mengaku bersyukur. Selama ini, pemerintah daerah selalu melibatkan mereka dalam beberapa event. Termasuk dukungan anggaran dan fasilitas pendukung lainnya.
"Kalau ada teman yang sakit, dijamin biaya pengobatannya sama Pak Bupati. Kami juga dilibatkan kemarin waktu penilaian Geopark Bantimurung-Bulusaraung," kata Wa'nani.
Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Pangkep, Rukmini menjelaskan pihaknya telah mendaftarakan Mappalili Segeri sebagai warisan budaya takbenda Indonesia sejak tahun 2016 lalu.
Mappalili Segeri ini merupakan budaya yang dibawa komunitas bissu Segeri, sama seperti Tari Sere Bissu Maggiri di Bone.
"Pemkab menyiapkan anggaran khusus untuk ritual Mappalili ini. Pak Bupati sangat perhatian terhadap teman-teman bissu. Makanya kami siapkan bolasoba untuk sarana latihan dan berkumpul mereka," kata Rukmini kepada Fajar.co.id, Senin (25/7/2022).
Bahkan, Pemkab Pangkep memasukkan ritual Mappalili Segeri sebagai salah satu geo kultural untuk jadi destinasi wisata di kawasan Geopark Bantimurung-Bulusaraung.

UU Pemajuan Kebudayaan Sebenarnya Melindungi
Antropolog Unhas, Dr. Tasrifin Tahara, M.Si meminta pemerintah untuk tidak mengabaikan warisan budaya. Terlebih upaya pelestarian budaya, apalagi sudah diakui sebagai budaya tak benda dilindungi oleh Undang-undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
Aturan itu, kata Tasrif menjadi sebagai acuan legal-formal pertama untuk mengelola kekayaan budaya di Indonesia. Termasuk budaya Bissu yang merupakan warisan dari zaman kerajaan di Sulsel.
"Pemerintah harusnya melindungi mereka, memberikan ruang berekspresi kelompok manapun. Bissu itu produk budaya kita, harusnya dilihat dari sisi Pancasila bukan agama tertentu," ungkap Tasrif saat ditemui di Kampus Unhas.
Dia berharap, pemerintah tak mengabaikan masa lalu demi kepentingan kelompok mayoritas. Terutama Pemda harus memberi ruang dan menjamin bissu untuk tetap bisa melestarikan warisan budaya mereka.
Kepada bissu, Tasrif memberi saran untuk tetap menonjolkan warisan budaya yang mereka bawa. Terlebih mereka adalah agen pelestari budaya yang keberadaannya penting.
"Untuk bertahan bissu tetap harus konsisten, tampilkan ritual atau kegiatan yang sudah sejak dulu dilakukan. Ketika tampil di ruang publik bukan menonjolkan sisi kewaria-warian mereka," sarannya.
Soal pandangan khalayak umum terhadap bissu, alumni doktor ilmu antropologi Universtas Indonesia itu meminta masyarakat melihat keberadaaan mereka sebagai warisan budaya bukan transpuan atau waria.
Sebab, sejak awal keberadaan bissu setara dengan pemuka agama di masa lalu. Mereka adalah kelompok yang fokus menghubungkan masyarakat dan pihak kerajaan dengan sang dewata (tuhan).
"Salahnya di mana mengabaikan masa lalu, kita akan mendzalimi warisan budaya nenek moyang kita. Itu kearifan leluhur kita, jangan sampai suatu saat nanti malah kita bertanya ke mana budaya masa lalu kita," kata Tasrif.
Mulai Alami Pergeseran Sejak Diburu Pasukan Kahar Muzakkar
Peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar, Masgabah mengatakan latar belakang munculnya bissu di Kerajaan Bone diawali ketika Raja Luwu diturunkan dari langit. Karena tidak mampu mengatur kehidupan di muka bumi maka diturunkanlah bissu sebagai penghubung antara manusia dengan dewata. Bissu pertama bernama Lae-lae. Berawal dari sinilah Bissu kemudian menyebar keseluruh wilayah Sulawesi Selatan termasuk Bone.
Terjadinya pengejaran dan pembunuhan terhadap bissu oleh Pasukan Kahar Muzakkar serta pada masa Orde Baru disebabkan karena dianggap penyembah berhala dan tidak sejalan dengan syariat Islam serta tertuduh penganut komunis atau anggota Partai Komunis Indonesia.
"Pasca pengejaran dan pembunuhan keberadaan komunitas Bissu mengalami pergeseran peran, hal ini disebabkan karena perubahan sistem kenegaraan, dari sistem kerajaan menjadi negara kesatuan. Faktor lainnya adalah penyebaran ajaran Islam yang menganggap seluruh kegiatan bissu tersebut bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam murni. Penyebaran agama Islam membawa arti dan pengaruh yang sangat cepat bagi perkembangan yang menyimpang dari kebiasaan lama bissu," katanya dalam hasil penelitiannya yang diterbitkan di laman resmi Kemendikbud.
Masgabah menyebut status bissu sekarang hanya sebatas masyarakat biasa. Keberadaan bissu di masyarakat mengikuti keyakinan mayoritas masyarakat Bone yaitu agama Islam. Ibadah salat dikerjakan sehari-hari, bahkan mendalami agama lebih serius. Diantara mereka sudah ada yang menunaikan ibadah haji, namun tanpa menanggalkan status kebissuannya.
Dalam penelitiannya itu, Masgabah meminta pemerintah setempat, tokoh-tokoh agama, dan tokoh-tokoh adat berperan aktif dalam memperhatikan keberadaan komunitas bissu yang ada sekarang ini sebagai wujud pelestarian tradisi budaya klasik.
Dia juga meminta komunitas bissu, supaya tetap bisa memelihara tradisi budaya klasik itu serta terus berusaha mencari regenerasi agar dimasa mendatang masyarakat masih bisa melihat secara langsung salah satu peninggalan tradisi Bugis klasik walaupun sudah berbeda dengan sebelumnya.(mirsan/fajar)
Disclaimer: Liputan ini merupakan bagian dari program Workshop dan Story Grant Pers Mainstream yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) bekerja sama dengan Norwegian Embassy untuk Indonesia.