FAJAR.CO.ID, MAKASSAR -- Rupiah melemah. Dolar AS makin perkasa. Ada dampak langsungnya terhadap ekonomi Indonesia.
Dolar AS atau USD terpantau menguat hingga menyentuh Rp15.110 per 1 USD. Di pasar spot, indeks USD menguat tajam 0,71 persen ke posisi 113,98 dan sentuh rekor tertinggi sejak 20 Mei 2002.
Analis Keuangan Sutardjo Tui menuturkan terjadinya penurunan nilai rupiah terhadap dolar mempunyai nilai plus dan minus. Nilai plusnya adalah harga barang-barang atau komoditas ekspor menjadi mahal sehingga harganya yang diterima oleh pengekspor meningkat.
Sebaliknya, importir yang deg-degan, bahkan menjerit. Biaya yang dikeluarkan akan bertambah signifikan.
"Importir akan mengurangi barang impornya karena harga di luar negeri mahal, hal ini berarti kebijakan mengurangi barang impor terpenuhi," ujar Sutarjo, kemarin.
Oleh sebab itu, yang menikmati pelemahan nilai tukar rupiah ini adalah perusahaan atau perorangan sebagai pengumpul atau produsen barang-barang ekspor.
"Yang berdampak negatif adalah pabrikan yang bahan bakunya masih tergantung dari barang-barang impor, dan atau barang jadi yang bersifat impor," katanya.
Sebenarnya, hal ini tidak berdampak pada profit. Kalau harga pokok naik, pasti harga jual juga naik. Namun, mungkin omzet penjualan yang menurun.
"Cuma secara empirik di masyarakat, melemahnya nilai rupiah ini lebih banyak profitnya, karena sebagian besar para pengguna barang-barang impor adalah kaum menengah ke atas," terangnya.
Yang harus dilakukan saat ini adalah mengurangi barang-barang impor dan terus meningkatkan realisasi ekspor. Apalagi, banyak orang atau pengusaha yang senang juga nilai rupiah melemah, utamanya pengekspor.
"Masyarakat kecil itu pada umumnya tidak menggunakan barang impor, malah kebanyakan masyarakat kecil kita penghasil barang-barang ekspor," kata Sutarjo.
Selanjutnya, yang mendapatkan keuntungan dari kejadian ini adalah orang atau pengusaha yang banyak utangnya di bank dengan menggunakan valuta rupiah.
"Kalau berkepanjangan ini akan berdampak pada inflasi, tetapi tentunya yang akan berteriak adalah orang yang berpenghasilan tetap, seperti ASN, TNI, Polri, dan swasta," papar Ketua Program Studi Pascasarjana STIE YPUP itu.
Apabila inflasi terlalu tinggi, akan ada pengurangan uang beredar. Caranya dengan mengurangi pemberian kredit bank melalui peningkat bunga kredit.
Idealnya, nilai tukar rupiah yang normal itu adalah nilai yang tidak terlalu berakibat pada inflasi yang tinggi. "Tidak baik juga kalau inflasi tidak terjaga, bisa berakibat pada kurangnya investasi, yang berakibat banyaknya pengangguran," terangnya.
Ketidakpastian
Ketua Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia (GPEI) DPD Sulselbar Arief R Pabettingi memaparkan fenomena pelemahan mata uang sering terjadi pada beberapa momen belakangan. Para pengusaha yang pembayarannya menggunakan dolar, pasti akan merasa senang.
"Karena adanya selisih tambahan akibat kuatnyan USD terhadap rupiah," ujar Ketua IKA Pascasarjana STIEM Bongaya ini.
Ketika rupiah melemah terhadap kurs Amerika, memberi keuntungan bagi pelaku ekspor, khususnya di Sulsel. Hal ini berdasar karena pembayaran ekspor didominasi menggunakan dolar.
"Indikasinya bukan kita berharap rupiah terus melemah. Yang penting kestabilan mata uang, agar kita bisa disegani juga dengan negara luar. Kita dibayar dolar di luar, jadi dengan turunnya nilai jual rupiah terhadap dolar, tentu kalau kita terima dolar, nilai tukar kita naik juga," terangnya.
Wakil Ketua Apindo Sulsel ini juga menjelaskan ada beberapa indikasi yang memengaruhi pelemahan rupiah kali ini. Salah satunya ialah belum stabilnya geopolitik dunia.
"Sehingga sekarang dunia saat ini dalam situasi resisi energi dan telah banyak negara lain yang mengalami inflasi yang begitu tinggi," terangnya.
Melandainya status Covid-19 belum berhasil membuat kestabilan ekonomi secara utuh, ini juga menjadi indikator ketidakstabilan mata uang.
"Ini juga salah satu indikasi sampai nilai kurs dolar Amerika naik terhadap beberapa mata uang negara lain, termasuk di Indonesia. Pelaku usaha di seluruh dunia kelabakan dengan kondisi seperti ini. Ini juga bisa jadi salah satu pengaruh nilai rupiah terhadap kurs dunia turun," paparnya.
Dalam kaitanya dengan aktivasi ekspor, dampaknya tidak terlalu signifikan. Sebab, sistem pembayaran memang telah disepakati di invoice pembayarannya USD sebagai acuan. (sae/zuk-dir/fajar)