Ekonomi Sulsel Tetap Kokoh, Pengamat: Ancaman Resesi Jadi Berkah

  • Bagikan

FAJAR.CO.ID, MAKASSAR-- Rupiah terus tertekan dolar. Meski begitu, ekonomi Sulsel tetap kukuh. Kekuatan lokal jadi kunci.

Memang, bayang-bayang resesi ekonomi terus mengintai. Tak bisa dimungkiri, Sulsel pun turut mendapatkan dampak, meski kecil. Puncaknya diperkirakan pada 2023, meski itu juga bukan kepastian.

"Ini kita lihat semua terimbas dari naiknya harga BBM (subsidi) dan ini terus berlanjut sepertinya," terang analis ekonomi Universitas Hasanuddin Andi Nur Bau Masepe, kemarin.

Saat ini masyarakat sudah diterpa dengan naiknya harga barang pokok, seperti telur, lombok, dan bawang merah. Pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) juga menjerit.

Selain harga bahan baku naik, juga mulai susah ditemukan. Belum lagi keuntungan mereka tergerus lantaran masih menahan tidak menaikkan harga jual.

"Syukur mereka masih bisa dapat margin di atas 30 persen untuk bisnis kuliner," tutur Nur Bau.

Bila ini berlanjut terus, pertumbuhan Sulsel yang diprediksi 5,8 persen bisa saja terkoreksi. Pada akhirnya hanya di angka 4 persen, sebab harga barang naik menyebabkan daya beli turun dan masyarakat membatasi konsumsi (belanja).

Dalam situasi seperti ini, belanja pemerintah bisa menjadi penopang. Apalagi ditopang dengan belanja pegawai, itu akan menjadi stimulus utama karena swasta tergantung dari hal itu.

Genjot Ekspor

Terkait dolar Amerika Serikat (USD) tembus Rp15.300, tentu memberi dampak positif bagi kegiatan ekspor. Komodiatas seperti pertambangan dan perkebunan akan memetik keuntungan.Ini sisi positifnya.

Untuk jangka pendek, pemerintah daerah mesti mengendalikan harga-harga kebutuhan pokok. Sering mengadakan pasar murah agar golongan menengah ke bawah masih bisa beli bahan pokok kebutuhan hidup dengan murah. Syaratnya, hal itu perlu subsidi.

"Untuk UMKM saya rasa mereka harus terus-menerus diperhatikan baik pengembangan produk dan akses pasar, gerakan beli produk lokal harus masih dilakukan," ujarnya.

Pemerintah dan kampus negeri juga sebaiknya berhenti membeli kudapan dan konsumsi dari toko-toko roti kue branded. Lebih baik membeli punya pelaku UKM, terutama yang sudah tersertifikasi.

Kualitas buatan mereka tidak kalah. Tinggal dibuatkan saja mekanisme pembayaran. Bisa juga memakai mekanisme kartu kredit pemerintah.

"Saya liat di pemkot dan pemprov belum digalakkan, padahal sudah ada kebijakan Kementerian Keuangan," bebernya.

Diharapkan pula, kenaikan kurs dolar segera berbalik arah dan tidak menembus Rp16.000. Secara teknikal, USD akan berada pada kisaran Rp14.900-15.200.

Saat dolar menguat, industri yang terdampak adalah travel dan sejenisnya. Perusahaan itu akan menyesuaikan lagi harga, terutama paket umrah dan haji. Juga industri yang banyak mengandalkan barang impor seperti otomotif dan farmasi, pasti terdampak.

"Banyak bahan baku farmasi impor, tentu harga obat dan alat kesehatan akan naik. Ini tentu akan ikut memicu kembali inflasi di negara ini," tuturnya.

Masih Jauh

Analis Keuangan dan Perbankan Sutardjo Tui memandang perkiraan resesi pada 2023 bagi Indonesia, apalagi Sulsel, masih sangat jauh. Resesi itu adalah suatu situasi atau keadaan tidak ada pertumbuhan ekonomi selama dua periode.

Sementara pertumbuhan ekonomi itu dihitung berdasarkan pertumbuhan Produk Nasional Bruto (PNB) secara nasional dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) secara lokal. Baik PNB maupun PDRB, minimal diukur dari sembilan sektor ekonomi.

"Sektor itu antara lain, pertanian, perikanan, kehutanan, pertambangan, perhotelan, pariwisata, jasa keuangan, jasa konstruksi. Semuanya itu cukup tersedia di Sulsel," katanya.

Kesembilan sektor tersebut diukur minimal berdasarkan harga konstan maupun harga pasar. Oleh sebab itu, bagi Sulsel resesi jauh, dikaitkan dengan inflasi apalagi.

Inflasi itu berarti terjadi kenaikan harga. Artinya tidak terjadi pertambahan volume produksi. Dengan adanya kenaikan harga, berarti nilainya sudah bertambah, apalagi kalau produksi naik.

"Beberapa bulan lalu pemerintah mengumumkan bahwa Indonesia telah swasembada pangan," terangnya.

Sejauh ini, di Sulsel ada pertumbuhan ekonomi. Makanya, potensi dunia yang akan ada resesi merupakan berkah, bukan musibah. Alasannya, semua kebutuhan dunia ada.

"Konsumennya juga 240 juta apalagi dibarengi dengan capital intellectual yang semakin berkembang," ujar Sutarjo.

Sebenarnya, inflasi itu tidaklah buruk. Asal, jangan sampai hotinflation. Apabila ada inflasi yang dikendalikan oleh tim pengendali inflasi daerah (TPID), kenaikan harga barang akan terkendali.

Kalau terjadi peningkatan harga barang, ada gairah investor atau produsen meningkatkan produksi.

"Hal ini berarti terjadi peningkatan permintaan bahan baku dan kebutuhan tenaga kerja meningkat pula dan pengangguran berkurang," terangnya.

Jika tetap terjadi pertumbuhan ekonomi, maka nilai rupiah terhadap valuta asing tidak mengkhawatirkan bahkan normal-normal saja. Apalagi, kalau nilai ekspor lebih besar dari nilai impor, hal ini berarti rupiah minimal stabil dan menguat.

Apabila ingin nilai rupiah stabil terhadap nilai dolar, yang harus diperkuat adalah nilai ekspor sehingga niilai impor akan dikalahkan oleh ekspor.

"Perlu diketahui bahwa fluktuasi nilai valuta suatu negara dengan negara dapat dievaluasi melalui neraca perdagangan dan neraca pembayaran," katanya.(sae/zuk-dir/fajar)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan