FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Indonesia Ade Armando telah dilaporkan dengan nomor LP-B/474/X/YAN.2.4/2022/SPKT/POLRESTA MALANG KOTA/POLDA JATIM.
Ketua Umum Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Haris Pertama berharap agar pegiat media sosial ini segera ditangkap.
“Tangkap Ade Armando! Salam satu jiwa,” ujarnya singkat, Kamis, (13/10/2022).
Diketahui, laporan itu masuk pada 11 Oktober lalu. Pelapor adalah koordinator komunitas Aremania DC, Danny Agung Prasetyo.
Ade Armando diduga mencemarkan nama baik dan menyebarkan informasi yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan.
Pelaporan ini buntut dari pernyataan Ade Armando dalam salah satu channel YouTube dengan judul “Kok Polisi yang Disalahkan dalam Tragedi Kanjuruhan”.
Tindakan Ade Armando itu diduga menimbulkan rasa kebencian kepada Aremania.
Dalam video tersebut, Ade Armando mengatakan, pangkal persoalan tragedi di Kanjuruhan adalah kelakuan sebagian suporter arema yang menyerbu lapangan.
“Mereka sombong, bergaya preman, menantang, merusak dan menyerang. Gara-gara mereka tragedi itu terjadi,” tuturnya.
Menurutnya, ada upaya sengaja untuk mengarahkan telunjuk pada pihak kepolisian.
“Marilah kita bersikap objektif. Apa sih yang dimaksud dengan tindakan represif, pelanggaran profesionalisme atau bahkan pelanggaran HAM yang dilakukan kepolisian? Apakah polisi memukuli suporter, menganiaya, menembaki para pendukung Arema? Sama sekali tidak ada, yang mungkin bisa dipersoalkan adalah penggunaan gas air mata,” ungkapnya.
“Sebagian pihak menyatakan bahwa FIFA jelas melarang penggunaan gas air mata dalam stadion. Pertanyaannya apakah polisi Indonesia berada di bawah FIFA? Ketika polisi menggunakan gas air mata, itu adalah tindakan sesuai protap ketika mereka harus mengendalikan kerusuhan yang mengancam jiwa,” imbuhnya.
Meski demikian ia mengakui, akibat gas air mata penonton berlarian panik dan sialnya pada saat mereka hendak keluar stadion ternyata panitia belum sempat membuka pintu keluar. Akibatnya terjadi penumpuan penonton, saling dorong, saling injak. Itulah yang menyebabkan tragedi terjadi.
“Pertanyaan saya apakah itu yang sisebut tindak represif dan pelanggaran HAM oleh polisi? Sekali lagi marilah kita bersikap objektif. Yang jadi pangkal masalah adalah suporter Arema yang sok jagoan, melanggar semua peraturan dalam stadion dengan gaya preman masuk ke lapangan, petentengan. Dalam pandangan saya polisi sudah melaksanakan kewajibannya,” jelas dia.
Apalagi kata Ade, polisi sejak awal sudah meminta agar jadwal pertandingan dimajukan menjadi pukul 15.30 WIB. Tapi pihak panitia berkukuh jam pertandingan tetap 20.00 WIB. Diduga ini terkait dengan jam tayang siaran langsung melalui televisi. Jam 20.00 WIB adalah jam siaran yang dianggap sebagai prime time, yang diminati para pengiklan. Tentu saja ini masih perlu dipastikan, walau masuk akal. Stadion pun hanya diisi oleh suporter Arema, tidak ada kuota bagi suporter Persebaya, polisi juga sudah meminta jumlah penonton dibatasi, sesuai kapasitas stadion.
“Dalam hal ini ternyata panitia ternyata nakal, kapasitas penonton hanya 38 ribu, sementara tiket yang dicetak mencapai 42 ribu. Bahkan diduga penonton yang masuk melampaui angka itu. Jadi sebenarnya ada over capacity. Karena itu saya merasa polisi sudah melakukan hal-hal yang diperlukan, yang jadi masalah adalah kelakuan suporter Arema memang tidak semua, menurut polisi yang menyerbu lapangan hanyalah 3 ribu orang. Tapi itu sudah cukup memporak-porandakan keadaan,” sebutnya.
Lebih jauh dijelaskan, Aremania tak bisa menyaksikan timnya kalah. Padahal pertandingan berlangsung dengan fair, tidak ada keputusan-keputusan wasit yang meragukan misalnya. Para pemain arema pun bermain dengan semangat, pemain Persebaya tidak main kasar. Memang cara kalahnya agak menyesakkan.
Persebaya semula sudah unggul 2-0, lalu dikejar 2-2. Tapi akhirnya Persebaya bisa memasukkan satu gol lagi sehingga unggul 3-2. Hal ini menyakitkan karena selama 23 tahun Arema tidak pernah kalah oleh Persebaya dalam pertandingan kandang.
“Tapi walau menyesakkan, ini mestinya ditanggapi dengan biasa-biasa saja. Celakanya bukan itu yang terjadi. Rekaman video yang beredar menunjukkan bahwa begitu pertandingan selesai para pemain Arema dan offisial masih bertahan di tengah lapangan dengan menunduk lesu, teriakan-teriakan sudah mulai terdengar. Bahkan ada pemain Arema yang menghaturkan permintaan maaf pada penonton. Tapi sedikit demi sedikit, supporter menerobos batas pagar dan masuk ke lapangan. Tidak terlalu jelas apa yang mereka hendak lakukan. Para suporter itu semula mungkin masuk ke lapangan sekadar untuk meluapkan emosi saja,” tambahnya.
Lebih lanjut disebutkan, pengusiran oleh polisi tentu tidak berlangsung dengan sopan santun. Polisi tentu harus menghardik dengan ancaman pentungan.
“Pada awalnya semua berjalan terkendali, tapi ketika mulai terjadi benturan dengan polisi, kondisi menjadi memanas. Lebih banyak lagi gelombang suporter yang menyerbu. Mereka juga mulai melakukan tindak pelemparan ke arah polisi. Polisi buru-buru menggiring para pemain Arema ke luar stadion, polisi juga mulai menyelamatkan pemain Persebaya yang ternyata mulai juga diserang penonton. Sementara di dalam stadion, polisi menembakkan gas air mata,” bebernya.
Lebih jauh, dia menjelaskan, pada awalnya gas air mata hanya diarahkan pada mereka yang menyerbu ke tengah lapangan, tapi ketika para suporter liar itu pantang mundur, polisi mulai mengejar sampai ke pinggir lapangan. Ketika itulah tembakan gas air mata polisi sampai ke tribun penonton.
Itulah kemudian yang membuat penonton panik. Menurutnya para supporter menyangka polisi akan mengejar mereka, mereka berlarian keluar.
“Tapi nahasnya mereka menemukan bahwa sejumlah pintu stadion belum terbuka. Dalam kondisi itu lah tragedi saling gencet, saling injak terjadi. Kita semua tentu prihatin, tapi pertanyaan saya, apakah polisi layak dipersalahkan? Dan jangan lupa, ada dua anggota kepolisian yang juga tewas. Mungkin sekali karena dikeroyok, saya percaya polisi tidak melanggar prosedur, masalahnya ada pada kelakuan para supporter,” tandasnya. (selfi/fajar)