Mencerdaskan masyarakat juga tujuannya agar bisa bersikap kritis. Kritis dalam artian harus bisa menimbang kelebihan dan kelemahan calon.
Titi Anggraini menambahkan bahwa Muhammadiyah berkepentingan untuk mengawal penyelenggara dan penyelenggaraan pemilu benar-benar berjalan kredibel dan berintegritas. Menolak politik adu domba, pecah belah, apalagi transaksional koruptif.
"Semua yang terlibat harus dipastikan memegang teguh komitmen dan nilai-nilai demokrasi yang humanis dan berkeadaban. Tidak memaksakan kehendak apalagi memonopoli pemilu hanya untuk kepentingan kelompok tertentu. Pemilu harus jadi instrumen pemersatu bangsa," pungkasnya.
Sementara itu, salah seorang tim perumus rekomendasi kegiatan, Luhur Andi Prianto, mengungkapkan bahwa sikap Muhammadiyah soal politik pemilu sudah jelas.
Sebagai pilar penting masyarakat sipil di Indonesia, persyarikatan Muhammadiyah tidak terjebak pada dukung-mendukung capres maupun partai politik.
Dengan tetap merujuk pada Khittah Ujungpandang 1971 dan Khittah Denpasar 2002, Muhammadiyah konsisten menjaga jarak yang sama dengan semua kekuatan politik.
"Muhammadiyah hanya mendorong agar politik demokrasi tidak menimbulkan fragmentasi sosial politik bangsa," kata Wakil Dekan 1 FISIP Unismuh Makassar ini.
Dengan sumberdaya politik yang tersedia, Muhammadiyah perlu memberikan panduan tentang sikap dan orientasi politik elit, kader, dan simpatisannya.
Termasuk pada posisi nilai dan kriteria Capres dan Cawapres, yang sejalan dengan agenda kemajuan bangsa serta misi persyarikatan.