”Korban juga merasa kasihan terhadap pelaku sehingga menolak untuk meninggalkan pelaku bahkan ketika diberi kesempatan untuk melarikan diri. Korban cenderung memiliki persepsi negatif terhadap aparat penegak hukum, keluarga, teman, dan siapa pun yang memungkinkan membantu mereka melarikan diri,” papar Tri Kurniati Ambarini.
Dia menambahkan, korban dengan stockholm syndrome cenderung menolak menuntut pelaku. Setelah dibebaskan mereka akan terus memiliki perasaan positif terhadap pelaku.
”Korban dengan stockholm syndrome dimungkinkan juga mengalami flashback, depresi, kecemasan, dan gangguan stres pasca trauma (PTSD),” tutur Tri Kurniati Ambarini.
Pentingnya diagnosis stockholm syndrome, sambung dia, adalah untuk mengetahui potensi yang membahayakan korban. Hal itu karena sindrom tersebut mungkin terkait dengan gangguan lain yang lebih parah. Sehingga penting untuk dilakukan diagnosis khusus oleh ahli baik psikolog maupun psikiater.
Rini menyebut, stockholm syndrome dapat dicegah dengan sesi konseling bersama psikolog ataupun psikiater. Selain itu, dukungan dari lingkungan sekitar maupun dukungan dari lembaga sosial dan pemerintah juga dibutuhkan.
”Korban kekerasan lebih sering tidak mampu keluar sendiri dari situasi tersebut jika tidak ada bantuan dari orang lain,” ucap Tri Kurniati Ambarini. (jpg/fajar)