FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham), Edward Omar Sharif Hiariej menyatakan, pasal terkait hukuman mati tidak dihapus dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Menurut pria yang karib disapa Eddy, hukuman mati dalam RKUHP menghadirkan solusi alternatif.
“Bicara soal pidana mati, bahwa pidana mati yang kita anut di dalam RUU KUHP ini adalah win win solution,” kata Eddy saat melakukan sosialisasi RUU KUHP di Universitas Nusa Cendana (Undana), Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), Rabu (2/11).
Eddy menyampaikan, pidana mati dimuat dalam RKUHP berdasarkan hasil survei. Hal ini dilakukan oleh para penyusun RKUHP di antaranya Prof Moeljatno, Prof Sudarto dan Prof Mardjono Reksodiputro.
“Mereka menyusun itu tidak ada kepentingan politik apapun, semata-mata berdasarkan doktrin. Survei secara random terhadap 100 orang,” ungkap Eddy.
Survei terkait hukuman mati itu terdapat beberapa persoalan. Pertama, kata Eddy, apakah setuju dengan pidana mati. Menurut Eddy, dalam survei tersebut 83 responden menjawab setuju dengan pidana mati.
Pertanyaan kedua, lanjut survei, apakah setuju pengedar narkotika dijatuhi pidana mati, 83 persen setuju pengedar narkotika dijatuhi pidana mati.
“Pertanyaan yang berikut apakah saudara setuju koruptor dijatuhi pidana mati, 83 responden menjawab setuju. artinya konsisten,” ucap Eddy.
Sementara itu, terakhir terkait pernyataan apakah setuju teroris dijatuhi pidana mati. Namun, hanya 20 orang yang setuju.
“Itu persoalan apa?, bukan persoalan hukum, persoalan agama. Kalau konsisten maka semua yang setuju pidana mati terhadap teroris pun harus dijatuhi pidana mati, 83 persen. Tetapi ketika ditanya teroris dijatuhi pidana mati hanya tinggal 20 orang yang setuju,” ucap Eddy.