FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- CEO Piala Dunia 2022, Nassser Al-Khater memberi respons atas komentar miring mantan Presiden FIFA, Sepp Blatter, yang mengatakan penetapan Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia adalah kesalahan.
Menurut Nassser, sepakbola itu milik seluruh dunia. Dan, hal itu sudah menjadi salah satu slogan yang terus menerus digelorakan FIFA.
Sekalipun itu berarti harus menggeser Piala Dunia menjadi musim dingin, karena disebabkan suhu di Qatar tak memungkinkan untuk bermain sepakbola pada musim panas.
Dilansir dari surat kabar Qatar, The Peninsula, Qatar diketahui telah berusaha mempersiapkan diri sebaik mungkin agar Piala Dunia 2022 menyajikan pengalaman menonton sepakbola terbaik bagi para penggemar bola.
Tercatat, selama mempersiapkan perhelatan Piala Dunia, Qatar telah menggelontorkan sekitar 228 miliar Dollar AS (sekitar Rp3.572 triliun) untuk pembangunan infrastruktur.
Terkait konsumsi alkohol, Qatar juga telah melonggarkan aturan demi mengakomodir suporter yang datang. Terkait isu LGBT, mereka menjamin keamanan semua pihak selama mengikuti aturan yang berlaku.
Bagi Nassser Al-Khater, seluruh serangan dan sentimen negatif terhadap Qatar adalah upaya Eropa untuk memonopoli Piala Dunia.
"Kampanye (negatif) itu mengkritik ukuran wilayah Qatar, isu lingkungan, warisan sepakbola, dan wacana lainnya. Mereka (Eropa) menolak bahwa negara seperti Qatar atau sebuah negara Muslim Arab bisa menyelenggarakan turnamen besar seperti Piala Dunia," ucap Nassser.
Nassser menilai, antusiasme para penonton yang telah memesan tiket pertandingan menjadi bukti bahwa Qatar dapat dipercaya sebagai penyelenggara Piala Dunia. Diketahui, telah mencapai sekitar tiga juta tiket terjual.
"Saya tegaskan, prioritas utama kami adalah membuat turnamen sangat sukses. Kami menanggapi kritik dengan cara yang jelas melalui media sehingga kami berharap pihak lain juga menilai kami secara profesional," tuturnya.
Terkait kedekatan Blatter-Qatar, perang kata-kata antara Blatter dan Qatar merupakan hal menarik. Pasalnya, pria asal Swiss itu diketahui sempat memiliki relasi dekat dengan Qatar.
Kedekatan antara Blatter dengan Qatar sebelumnya terjalin lewat Mohammed Bin Hammam, mantan ketua federasi sepakbola Qatar (1992-1996) dan Presiden AFC (2002-2011).
Dulu, Bin Hammam merupakan salah satu orang yang mendukung Blatter dalam pemilihan Presiden FIFA pada 1998 (ketika Joao Havelange pensiun).
Dalam buku The Secret World of FIFA: Bribes, Vote Rigging & Ticket Scandals yang ditulis Andrew Jennings, diungkapkan “Blatter mengatakan memiliki beberapa ‘sponsor minor’ (untuk kampanye), salah satunya Mohammed Bin Hammam”. Selepas itu, hubungan keduanya semakin akrab.
"Saya dikenal sebagai pendukung Blatter. Jelas bahwa saya adalah penasihatnya yang tulus. Dan, saya akan mengatakan, bahwa saya berkontribusi atas kesuksesannya," kata Bin Hammam dalam dokumenter FIFA Uncovered di Netflix.
Namun, perubahan mulai terjadi pada 2009. Bin Hammam mengaku mulai tak senang dengan Blatter karena merasa dikhianati.
"Pada 2009, ada pemilihan di Asia yang memperebutkan posisi saya di FIFA. Ada kandidat lain (Sheikh Salman bin Ebrahim al-Khalifa dari Bahrain) dan saya sangat terkejut karena Blatter mendukung dirinya," tuturnya.
"Bagi saya, itu cukup aneh. Saya seharusnya adalah temannya. Ia berpikir bahwa saya adalah ancaman baginya dan ingin menyingkirkan saya dari FIFA. Jadi, saya mengatakan bahwa saya akan membuat hidupnya tidak nyaman," sambung dia.
Hubungan antara Bin Hammam dan Blatter semakin merenggang di tahun 2010, tepatnya setelah pemilihan tuan rumah Piala Dunia.
Blatter diketahui mendukung Amerika menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022, berbeda dengan Bin Hammam yang menjadi bagian tak resmi tim pemenang Qatar.
"Yang membuat saya tak nyaman adalah hal yang dilakukan Blatter. Ia sangat ingin Qatar tersingkir," keluh Bin Hammam.
Persaingan keduanya memuncak ketika Bin Hammam mencoba merebut kursi Presiden FIFA dari Blatter yang mencalonkan diri untuk keempat kalinya pada 2011. Bin Hammam merasa Blatter telah melanggar janji terkait masa jabatan sebagai presiden FIFA. Hal ini membuatnya kesal.
"Saya pikir Blatter tidak tertarik (kembali mencalonkan diri) pada 2011. Presiden harus punya batas, yakni tiga periode. Jadi, saya merasa hal ini tidak baik untuk sepakbola," beber Bin Hammam.
Sementara, Blatter diklaim melihat Bin Hammam sebagai pesaing yang harus disingkirkan. Keberhasilan Bin Hammam membawa Piala Dunia 2022 ke Qatar jadi tanda bahwa kekuasan Blatter di FIFA mulai goyah.
"Saya ingin mempertahankan posisi saya. Saya tidak bisa meninggalkan bertahun-tahun yang saya habiskan untuk perkembangan sepakbola," kata Blatter.
Peluang untuk menjegal Bin Hammam tiba pada 10 Mei 2011, sekitar dua pekan sebelum Kongres FIFA ke-61. Ia diketahui memberikan sejumlah uang kepada beberapa ketua asosiasi di CONCACAF.
Dia berkelit, uang yang diberikan jelang pemilihan presiden FIFA itu bukan suap, melainkan bantuan dana untuk pengembangan sepakbola di negara masing-masing.
Kesempatan emas ini tidak disia-siakan oleh Blatter. Tiga hari jelang pemilihan presiden, mantan Putra Mahkota Qatar, Sheikh Jassim bin Hamad bin Khalifa Al Thani, datang ke markas FIFA bersama Bin Hammam.
"Ia (Sheikh Jassim) menyampaikan bahwa Emir Qatar mengatakan Anda (Bin Hamam) tidak boleh melawan Tuan Blatter. Kita akan mendukung Tuan Blatter dalam pemilihan 2011," kenang Blatter.
Bin Hammam mengundurkan diri dari pemilihan ketua. Sementara, Blatter kembali terpilih melanjutkan kepemimpinannya tanpa perlawanan, sama seperti ketika Ia mengamankan kontrak senilai 300 juta Dollar AS (4,6 miliar Rupiah) antara FIFA dengan BeIN untuk hak siar Piala Dunia 2018 dan 2022. (Muhsin/Fajar)