Oleh: Basti Tetteng
Dosen Psikologi UNM dan aktivis Muhammadiyah
Muktamar Muhammadiyah ke-48 akan berlangsung di Solo Surakarta 18-20 November 2022.
Selain suksesi kepemimpinan Muhammadiyah di tingkat elite (pemilihan pengurus), muktamar juga akan membahas berbagai agenda strategis umat dan kebangsaan, termasuk isu demokrasi, pemilihan umum, dan suksesi kepemimpinan nasional dan anggota legislatif. Muhammadiyah dalam konteks ini akan mendorong kontestasi politik 2024 tergelar secara baik dan berkeadaban.
Apa dan bagaimana itu kontestasi politik berkeadaban? Kontestasi politik berkeadaban dalam pikiran Muhammadiyah sebagaimana telah dipraktikkan pada pengalaman pemilu 2019 adalah pertama memberikan pendidikan politik pemilih dengan menerbitkan panduan internal warga Muhammadiyah agar aktif, cerdas, dan arif saat menggunakan hak politiknya, kedua mendorong warga Muhammadiyah untuk berpartisipasi aktif dalam penyelenggaraan pemilu, dan ketiga adalah membangun komunikasi dengan berbagai pihak agar menjaga keamanan, kedamaian, kejujuran dan ketertiban pemilu.
Pikiran ini tampaknya masih terlalu sederhana. Dalam konteks suksesi kepemimpinan bangsa, Muhammadiyah perlu tegas keberpihakannya dalam menyuarakan kriteria calon pemimpin bangsa (termasuk capres) yang dibutuhkan bangsa ini untuk keluar dari berbagai krisis baik krisis kedaulatan ekonomi, moral, politik maupun masalah masalah sosial lainnya, sebab bukankah keadaban politik juga ditentukan oleh siapa yang memimpin? Sosok seperti apa yang memimpin bangsa ini adalah faktor penting yang dipikirkan bersama. Salah satu kriteria pemimpin bangsa yang perlu dirumuskan dan dieksplorasi lebih jauh di antaranya adalah pemimpin bangsa yang berkemajuan, adil dan menyatukan bukan memecah belah, mengontrol oligarki bukan dikontrol oligarki, sosok tegas yang mampu membawa bangsa berdaulat secara ekonomi dan politik, bukan koloni ekonomi dan politik bangsa lain.
Jadi politik berkeadaban bukan hanya soal pendidikan politik bagi warga Muhammadiyah dan warga bangsa, bagaimana aktif dan cerdas menggunakan hak pilih, mengawal pemilu berlangsung secara damai, adil dan jujur. Akan tetapi, juga bagaimana mendorong secara aktif dan tegas tampilnya sosok pemimpin bangsa yang sesuai kriteria yang dikehendaki dan dibutuhkan oleh bangsa ini khususnya oleh Muhammadiyah.
Sebagai Ormas Islam yang memiliki kekuatan sumber daya dan jaringan yang luar biasa, Muhammadiyah tentu akan tetap berada pada posisi tidak partisan dan tidak terjebak pada dukung-mendukung pada salah satu Capres maupun mendekat pada salah satu partai politik. Dengan tetap merujuk pada Khittah Ujung Pandang 1971 dan Khittah Denpasar 2002, Muhammadiyah konsisten menjaga jarak dekat maupun jarak jauh dengan semua kekuatan politik kepartaian serta memposisikan diri sebagai kekuatan moral (moral force) dan kelompok kepentingan (interest group) yang mengawal perjalanan bangsa ini.
Namun demikian, bukan berarti Muhammadiyah tidak terlibat dalam setiap perjuangan politik di Republik ini. Muhammadiyah tentu akan terlibat untuk membawa negeri ini, diminta atau tidak diminta, menuju negeri yang dicita-citakan para pendiri bangsa menuju Negara Pancasila sebagai darul ahdi wa asy-syahadah yang telah menjadi keputusan Muktamar ke-47 di Makassar tahun 2015.
Karena itulah, Muktamar Muhammadiyah sebagai forum strategis perlu mengonsolidasikan organisasi, menyusun pikiran dan strategi taktis cerdas dalam menghadapi Pemilu Serentak 2024 khususnya dalam memilih calon pemimpin bangsa dengan tetap berpedoman pada setiap garis kebijakan organisasi. Muhammadiyah juga perlu mendengar suara dan masukan dari muktamarin yang hadir dari sabang sampai merauke untuk kemudian menyusun kebijakan bersama serta strategi yang tepat dan tegas untuk menjadi kebijakan Persyarikatan untuk disampaikan kepada khalayak publik.
Suksesi kepemimpinan di tubuh Muhammadiyah
Sepanjang sejarah pergelaran Muktamar Muhammadiyah, dalam soal suksesi kepemimpinan Muhammadiyah tidak pernah ditetapkan syarat pembatasan kepengurusan di tubuh Muhammadiyah, selama ini seseorang boleh mengajukan diri dan dipilih menjadi pengurus secara berulang kali, bahkan seumur hidup, akibatnya transformasi kader generasi kepemimpinan berjalan lambat, “ itu lagi itu lagi” bahkan membonsai peluang generasi muda untuk tampil memimpin. Akibat lainnya sejumlah kader “lari” dan aktif organisasi lain yang berbeda aliran keagamaan karena tidak mendapatkan tempat di Muhammadiyah . Pembatasan syarat kepengurusan Muhammadiyah sudah disuarakan dengan tegas oleh angkatan Muda Muhammadiyah seperti alumni Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dan Pemuda Muhammadiyah,
Oleh karena itu, Muktamar Muhammadiyah kali ini adalah momentum untuk menetapkan syarat pembatasan seorang boleh menjadi pengurus, misalnya hanya boleh menjadi pengurus maksimal tiga kali, setelah itu dianggap tidak bersyarat. Pembatasan ini diperlukan agar transformasi kader generasi muda berjalan baik, sebab bukankah masa depan Muhammadiyah ini ada di tangan para generasi mudanya?
Selamat bermuktamar Muhammadiyah, semoga pemimpin Muhammadiyah terpilih nantinya khususnya ketua umum, tidak hanya mampu menjadi tokoh di lingkungan Muhammadiyah, akan tetapi benar benar mampu menjadi tokoh umat dan bangsa, menjadi tokoh yang independen, mampu berbicara dan menyuarakan kepentingan umat Islam baik nasional maupun internasional secara tegas dan kritis, bukan membisu di hadapan penguasa. Fastabiqul khairat. (*)