Situasi runyam diperparah adanya aturan baru "antilintas partai" yang dikeluarkan tahun ini. Sejak diresmikan, "lompat partai" tak lagi dibolehkan. Alasannya, ketika suara berubah, kekuatan mayoritas juga berubah. Hal itu memengaruhi posisi PM.
"Sekarang ini yang terjadi, sulit menemukan mayoritas, sisa menunggu siapa yang kuat lobinya itu yang menang," lanjutnya.
Kedua tokoh memiliki posisi yang kuat. Hanya saja, AI masih belum memiliki kesempatan menjadi PM, sehingga kalah selangkah dari MY. Di satu sisi, MY sudah memegang dukungan partai Sabah dan Sarawak meskipun itu belum cukup. Jika ditambah dengan anggota koalisi BN yang membelot dari ketuanya, itu lebih dari cukup.
"Tetapi, sebenarnya itu tidak bisa, karena harus koalisi yang mengusung bukan satuan anggota. Sementara AI juga masih menunggu presiden BN bisa memberi suara full untuk dirinya," lanjut peneliti dan mahasiswa Program Doktoral Jurusan Sosiobudaya, Akademi Pengajian Melayu, University of Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia ini.
Koalisi AI-PH yang didominasi oleh partai Democratic Action Party (DAP) dengan dominasi Tionghoa menjadi salah satu alasan pertimbangan warga melayu. Sebab, hal ini bertentangan dengan warga melayu yang menyokong BN selama ini.
Tragedi penangkapan presiden BN karena terlibat kasus korupsi, membuat para anggotanya beralih mendukung koalisi MY-PN yang merupakan koalisi melayu dan partai Islam.
"AI didukung oleh kalangan muda yang tidak berpikir ke identitas, melainkan gagasan. Sentimen ras memang kuat yang membuat AI cukup ditolak orang Melayu," lanjut Nasrullah.