Berawal dari Teka-teki
Feature: Basri Abbas
(Wartawan Fajar, Sulawesi Selatan)
Selasa malam, 22 November 2022 itu, cuaca agak mendung. Namun, tidak juga hujan. Kami mengobrol di teras hotel. Teman bincang, H. Faisal Syam punya ide. Pendekar teka-teki ini mengajak berselancar mencari tempat duduk-duduk yang bisa dijangkau dengan berjalan kaki.
Saya pun membuka gawai. “Ini bagus, Pak. Namanya saja ‘Kajoe Tangan’. Pasti ada sejarahnya.”
Dasar orangnya suka berpikir teka-teka. Ia tidak langsung setuju. Beberapa menit menerawang dengan senyumnya yang khas. “Ayo…, kita jalan! Ini ada teka-teki saya, tapi jawabnya nanti di sana. Kira-kira tangan siapa yang dimaksud pada nama kawasan heritage Malang tersebut?”
Baru berkisar 300 meter berjalan kaki, kami sepakat pesan grab. Teka-teki itu berlanjut di atas mobil. Namun, kali ini, sopir grab yang punya giliran dapat beban.
Pertanyaan Pak Ical (demikian sapaan akrab Faisal Syam), “Pak, kenapa disebut kayu tangan, bukan tangan kayu?”
Giliran sopir grab, Mas Andy, kebingungan. Dia menjawab seadanya, “Kurang tahu juga, Pak. Kayaknya dari zaman Belanda itu nama.”
Pak Ical tidak berhenti. Dia bahkan menambah pertanyaan, “Pak, yang biasa kami tulis, ‘bertangan besi’, bukan ‘bertangan kayu’.” Sopir makin bingung, tetapi tidak mengurangi keramahannya.
Dia pun menyambung, “Betul, Pak. Saya juga sering dengar…, tangan-tangan besi.” Kami pun bersamaan tertawa akrab, layaknya tiga kawan lama yang baru bertemu.
Tidak terasa, kami sampai di alun-alun. Kami memilih turun di depan masjid Jami. Pak Ical langsung swafoto (selfi) dengan latar belakang masjid Jami. Dia mundur, mundur, mundur lagi, hingga hampir ke badan jalan.