Sebelum lanjut ke “Kajoe Tangan”, kami berkeliling alun-alun. Anak-anak masih ramai bermain kerjar-kejaran. Kami hendak duduk sejenak. Namun, tempat-tempat duduk “dikuasai” pasangan muda-mudi. Mereka serius berbincang. Ada yang serius sekali hingga layaknya menangis.
Sebelum tiba di “Kajoe Tangan”, kami mendapatkan prasasti yang bertuliskan tentang “Sejarah Situs Sarinah”. Lokasi ini dahulu rumah dinas Bupati pertama Malang, Raden Toemenggoeng Notodiningrat (1820-1839).
Pada tahun 1947, gedung tersebut dibumihanguskan sebagai strategi gerilya.
Pada 1970, di lokasi ini dibangun Sarinah sebagai pusat perbelanjaan modern pertama di kota Malang.
Gedung ini sempat kami abadikan.
Kami pun berhasil mendapatkan tulisan “Kajoe Tangan”. Di bagian bawah berjejer lampu sorot. Tulisan “Tangan” berada di atas dengan model telapak tangan berbentuk daun.
Seorang anak usia Sekolah Dasar yang juga mengambil foto di tempat itu justru membaca “Tangan Kajoe” (Bacaan dengan penyebutan apa adanya seperti yang tertulis). Pak Ical senyum-senyum mendengarnya sambil swafoto di temaran lampu sorot.
Kami pun memasuki kawasan Jl. Basuki Rahmat. Temaran lampu membuat kami tidak sabaran menyambangi beberapa bangunan tua yang diterpa cahaya putih. Tanpa sengaja, kami tiba di sebuah kampung kecil. Beberapa rumah masih menyisakan arsitektur tradisional, khas Betawi. Ada juga bangunan Joglo. Klasik dan unik.
Kafe-kafe yang menyajikan properti unik, tak ketinggalan kami foto. Anak muda yang duduk bersimpuh di pelataran, juga tidak berkeberatan kami foto. Mereka bahkan ramah mengambil posisi ketika diajak foto bersama. Pelayan kafe pun demikian.