Dari segi prosedur disebut, pengambilan keputusan pemberhentian ini juga janggal karena dilakukan berdasarkan Sidang Paripurna yang dilakukan tanpa proses terjadwal, sehingga tidak diketahui publik. Jika publik membiarkan proses ini begitu saja, maka akan terjadi pembiaran upaya DPR untuk meruntuhkan independensi peradilan. Salah satu esensi dari independensi peradilan adalah masa jabatan hakim yang tetap dan lepas dari campur tangan lembaga lain.
“Selain itu, pemberhentian Aswanto sebagai Hakim Konstitusi juga merupakan bentuk kesewenang-wenangan. Sebab yang bersangkutan tidak melakukan perbuatan tercela, tidak melanggar hukum atau etik, atau tidak juga melanggar sumpah jabatan Hakim Konstitusi. Hal-hal itulah yang dapat menjadi dasar pemberhentian seorang Hakim Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 23 UU MK. Sedangkan alasan yang dikemukakan oleh Komisi III DPR, yaitu yang bersangkutan membatalkan undang-undang yang dibentuk oleh DPR, tidak dapat dibenarkan untuk dijadikan dasar pemberhentian seorang Hakim Konstitusi,” lanjutnya.
Hal tersebut seperti menegaskan bahwa DPR ingin menjadikan Hakim Konstitusi sebagai alat untuk memuluskan produk undang-undang bermasalah dalam proses pengujian di Mahkamah Konstitusi.
Adanya “jatah” DPR dalam mengusulkan Hakim Konstitusi bukan berarti hakim yang diusulkan tersebut menjadi pembela kepentingan DPR, melainkan hal itu adalah untuk menjaga netralitas MK agar tidak dapat diintervensi oleh salah satu cabang kekuasaan. Pola pikir menjaga kepentigan DPR sebagaimana terlontar oleh beberapa pihak adalah logika sesat dan mendorong kita semua ke titik nadir pendangkalan hukum.