RUU KUHP dan Kesehatan Menuai Kontroversi, Politisi Partai Garuda: Jangan Rusak Aturan Main Bernegara

  • Bagikan
Waketum sekaligus Jubir Partai Garuda Teddy Gusnaidi.-Screenshot YouTube/tvOneNews-

FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Wakil Ketua Umum Partai Garuda Teddy Gusnaidi mengomentari terkait rencana pengesahan RUU KUHP dan RUU Kesehatan.

Dia mengatakan, dua RUU itu sudah domain dari lembaga legislatif dan lembaga eksekutif.

Sehingga ia berharap agar tidak dirusak aturan main bernegara dengan hal-hal yang tidak penting.

“Jadi jangan rusak aturan main bernegara dengan hal-hal yang tidak penting. Termasuk tuduhan-tuduhan yang kadang sudah keluar dari jalur, seolah-olah 2 lembaga tersebut melakukan hal yang hina,” katanya dalam unggahannya, Kamis, (1/12/2022).

Menurutnya, RUU tidak lahir begitu saja, tapi melihat ada kebutuhan secara keseluruhan, bukan hanya dari satu kelompok kecil.

“Rancangan yang dibuat juga bukan simsalabim, tapi sudah melakukan pendalaman sesuai dengan data yang dimiliki baik oleh lembaga legislatif maupun eksekutif,” ucap Jubir Partai Garuda ini.

Lebih jauh kata Teddy, jika ada pihak yang menolak dengan melakukan unjuk rasa, sah-sah saja selama tidak melakukan hal yang melanggar, termasuk membuat tuduhan-tuduhan yang tidak substansi.

Namun kata dia, tindakan itu pun tidak bisa mengatasnamakan rakyat Indonesia, karena mereka tidak mewakili rakyat Indonesia.

Lebih jauh kata eks politisi FKPI ini, apabila ada pihak yang merasa bahwa pasal-pasal dalam RUU itu tidak sesuai, sudah menyampaikan ketidaksetujuan tapi masih disahkan, maka ketika sudah menjadi UU, dapat digugat ke MK, dan MK yang menentukan apakah ketidaksetujuan mereka itu benar atau tidak.

“Sekali lagi, yang tidak setuju bukan berarti mereka yang benar, apalagi mereka hanya melihat dari sisi yang terbatas, sedangkan lembaga legislatif dan eksekutif melihat dari banyak sisi, melihat kepentingan yang lebih luas, bukan kepentingan yang sempit,” tandasnya.

Sebelumnya, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej menyampaikan, DPR memberikan sejumlah masukan terkait RKUHP yang tertuang dalam daftar inventarisasi masalah (DIM).

Menurut Eddy, beberapa poin dalam DIM telah melalui proses diskusi antara pemerintah dan DPR, serta telah disetujui dalam persetujuan tingkat pertama untuk dimasukkan dalam RKUHP.

“Teman-teman ICJR [Institute for Criminal Justice Reform] yang tergabung dalam koalisi masyarakat sipil itu aktif sekali melakukan diskusi dengan kami tim pemerintah, maupun dengan fraksi-fraksi di DPR, sehingga ada beberapa item yang kemudian kita masukkan dalam RKUHP dan kemudian itu telah disetujui dalam persetujuan tingkat pertama,” ujar Eddy.

Sejumlah poin yang telah dibahas dan mengalami perubahan yaitu mulai dari hukum yang hidup dalam masyarakat atau living law, pidana mati, hingga pencemaran nama baik. Terkait pidana mati, Eddy mengatakan bahwa dalam RKUHP yang baru pidana mati dijatuhkan secara alternatif dengan masa percobaan.

“Artinya, hakim tidak bisa langsung menjatuhkan pidana mati, tetapi pidana mati itu dengan percobaan 10 tahun. Jika dalam jangka waktu 10 tahun terpidana berkelakuan baik, maka pidana mati itu diubah menjadi pidana seumur hidup atau pidana 20 tahun,” lanjutnya.

Kemudian, pemerintah juga menambahkan pasal 240 RKUHP terkait penghinaan terhadap pemerintah dengan sejumlah pembatasan.

Penghinaan terhadap pemerintah dalam pasal tersebut terbatas pada lembaga kepresidenan, sedangkan penghinaan terhadap lembaga negara hanya terbatas pada lembaga legislatif yaitu DPR, MPR, dan DPD, serta lembaga yudikatif yaitu Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung.

“Baik dalam penjelasan pasal yang berkaitan dengan penyerahan harkat dan martabat Presiden, maupun penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara, kami memberikan penjelasan seketat mungkin yang membedakan antara penghinaan dan kritik,” kata Eddy.

Dalam RKUHP tersebut, pemerintah juga menghapus pasal terkait pencemaran nama baik dan penghinaan yang tertuang dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Eddy berharap dengan memasukkan ketentuan UU ITE dalam RKUHP disparitas putusan dapat diminimalisasi.

“Untuk tidak terjadi disparitas dan tidak ada gap maka ketentuan-ketentuan di dalam undang-undang ITE itu kami masukkan dalam RKUHP, tentunya dengan penyesuaian-penyesuaian, dengan sendiri mencabut ketentuan-ketentuan pidana khususnya pasal 27 dan pasal 28 yang ada dalam undang-undang ITE,” pungkas Eddy.

Sementara itu, terkait dengan RUU Kesehatan, lima organisasi kesehatan mengaku menolak diantaranya IDI, PDGI, IBI, PPNI, dan IAI. (selfi/fajar)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan