Survei Membuktikan di Mata Pemilih, Tokoh Politik Agamawan Juga Koruptor

  • Bagikan
ilustrasi-harun-masiku

FAJAR.CO.ID, JAKARTA - SMRC menyajikan hasil survei mengejutkan. Pasalnya, para pemilih tidak lagi percaya dengan yang terlihat agamawan dan pintar. Namun, nyatanya koruptor.

Hal tersebut dipaparkan ilmuwan politik, Prof Saiful Mujani, yang disampaikan dalam program Bedah Politik “Apakah Pemimpin Pintar Penting bagi Publik?” melalui kanal YouTube SMRC TV pada Kamis (08/12/2022).

Ada 4 kriteria kualitas tokoh yang diteliti Saiful dalam studi ini. Kedekatan dengan rakyat, bersih dari korupsi, taat beragama, dan berwawasan. Studi ini berdasarkan data survei SMRC pada November 2022.

Dalam kriteria dekat dengan rakyat, PDI Perjuangan mendapatkan penilaian paling tinggi, 61 persen, disusul Demokrat dan Golkar masing-masing 59 persen, Gerindra 57 persen, Nasdem 52 persen, PPP 50 persen, PKS 49 persen, PKB 47 persen, dan PAN 47 persen.

Pendiri SMRC ini menyebut, datanya cukup menggembirakan karena sebagian besar partai dipersepsi dekat dengan rakyat.

Saiful menambahkan, Partai-partai yang kurang dipersepsi dekat dengan rakyat adalah partai-partai agama, di antaranya adalah PPP, PKS, PKB, dan PAN.

Saiful menilai ini disebabkan oleh warna agama yang kemudian menyebabkan partai-partai tersebut lebih eksklusif di mata pemilih.

“Ini yang membuat mereka dipersepsi kurang dekat dengan rakyat secara umum. Dekatnya dengan rakyat tertentu saja, yang beragama tertentu,” ujar Saiful.

Untuk kriteria bersih dari korupsi, semua partai mendapatkan penilaian rendah, di bawah 30 persen. Hanya 29 persen publik menilai tokoh-tokoh Nasdem bersih dari korupsi, PPP 29 persen, PKS 28 persen, Demokrat 27 persen, PAN 27 persen, Gerindra 26 persen, Golkar 25 persen, PDIP 25 persen, dan PKB 22 persen.

“Tidak ada satu pun partai yang dinilai mayoritas bersih dari korupsi,” lanjut Saiful.

Saiful menyatakan, ini merupakan tantangan bagi partai politik di mata masyarakat. Dalam beberapa kasus, jelasnya, kalau eksposure kasus korupsi ke masayarakat kuat, itu bisa menghancurkan partai politik.

Saiful mencontohkan, Partai Demokrat dalam skandal Hambalang di mana Bendahara dan Ketua Umum partai terlibat, itu meruntuhkan Partai Demokrat. Pada 2009, partai ini menjadi partai pemenang Pemilu dengan 20 persen suara, turun menjadi partai nomor 4 dengan perolehan 10 persen di Pemilu 2014.

Di mata masyarakat, kata Saiful. Semua partai tidak bersih. Tapi ketika ketidakbersihan itu ekstrim dan tersosialisasi secara kuat pada masyarakat, itu bisa berpengaruh sangat besar dan partai bisa benar-benar jatuh.

Karena itu, lanjut Saiful, ini adalah peringatan atau warning. Namun, walaupun sekitar 70 persen menganggap partai-partai politik tidak bersih, tapi tingkat partisipasi publik dalam pemilihan umum juga sekitar 70 persen.

"Ini mungkin menunjukkan sikap ketidakpedulian warga: mereka tetap memilih walaupun yang dipilih tidak bersih. Faktor warga memilih mungkin juga bukan semata bersih dan tidak bersih, tapi hal lain," bebernya.

Saiful menambahkan, data ini menunjukkan kontradiksi. Satu sisi partai-partai dinilai dekat dengan rakyat, tapi tidak bersih. Artinya kedekatan dengan rakyat itu bermuatan tidak bersih.

“Itulah kualitas dari elite kita di mata pemilih. Itu menjadi tantangan yang sangat penting. Jangan sampai hal tersebut menghancurkan keberadaan partai-partai politik. Dan kita punya pengalaman bagaimana kasus korupsi bisa menghancurkan partai politik,” tandasnya.

Saiful menyebut, partai-partai lain juga mengalami kasus korupsi. Ketua-ketua partai seperti Golkar, PPP, dan PKS juga ada yang masuk penjara karena kasus ini. Tapi kasusnya tidak seheboh Demokrat.

Dalam hal ketaatan pada agama, umumnya warga mempersepsi tokoh-tokoh partai politik taat. Ada 62 persen warga menganggap tokoh-tokoh PKB taat pada agama, PPP 60 persen, PKS 59 persen, Demokrat 58 persen, Gerindra 55 persen, PAN 55 persen, Nasdem 53 persen, Golkar 53 persen, dan PDIP 51 persen.

“Elit dari semua partai dianggap taat pada agama,” jelas Guru Besar Ilmu Politik UIN Jakarta tersebut.

Yang menarik, kata Saiful, publik mempersepsi para elit partai taat beragama, tapi pada saat yang sama korup.

“(Para elite politik) taat beragama, tapi korup. Ini pesan yang sangat penting,” kata Saiful.

Dalam kriteria kepintaran atau wawasan, umumnya elite partai juga mendapatkan penilaian positif. Ada 70 persen publik yang menganggap para elite Gerindra pintar atau berwawasan luas, PDIP, Golkar, dan Demokrat masing-masing 69 persen, PKB 68 persen, Nasdem 65 persen, PKS 65 persen, serta PAN dan PPP masing-masing 64 persen.

Saiful menjelaskan, walaupun umumnya publik memberi penilaian positif pada aspek agama dan kepintaran, namun dua hal ini bukan kriteria yang paling penting di mata masyarakat. Yang paling utama di mata pemilih adalah peduli dan bersih.

(Muhsin/fajar)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan