INDONESIA DARURAT DOKTER???

  • Bagikan

Oleh: Iqbal Mochtar
(Dokter asal Makassar yang tinggal di Qatar)

Indonesia kekurangan dokter? Itu narasi yang kerap diungkapkan Menkes Budi Sadikin. Alasannya, jumlah dokter Indonesia tidak mencapai rasio standar WHO, yaitu 1 dokter untuk 1.000 penduduk (1:1.000). Dengan alasan inilah, sang Menteri sangat antusias ingin menambah jumlah dokter. Katanya, paling tidak dibutuhkan tambahan 130 ribu dokter. Seolah Indonesia darurat dokter. Fakultas Kedokteran diminta memproduksi tambahan dokter. Pembukaan fakultas-fakultas Kedokteran baru dilirik. Bisnis produksi dokter kelihatannya akan booming. Sampai di sini semua tampak rasional.

Benarkah Indonesia kekurangan dokter? Tunggu dulu.

Pertama, rasio standar WHO yang disebutkan Menkes itu tidak ada. WHO tidak pernah menetapkan standar rasio dokter terhadap penduduk. Memang ada narasi rasio 1:1000; tetapi ini hanya sebagai metrik perbandingan berbagai negara dan bukan standar dokter-penduduk versi WHO. WHO itu organisasi yang pintar dan hebat. Bukan kaleng-kaleng. Mereka tahu bahwa tiap negara memiliki sistem pendidikan dan kesehatan berbeda. Juga tingkat ekonomi dan kapasitas tiap negara sangat bervariasi. Dengan kondisi ini, mana mungkin WHO menetapkan satu standar yang akan berlaku di seluruh negara? Mana mungkin WHO ingin membuat ‘One Size Fits All’? Kalau ini berlaku, kapan negara-negara Afrika bisa mencapai standar?

Kedua, penggunaan rasio dokter terhadap penduduk bukan metrik tepat untuk perencanaan tenaga kesehatan. Parameter ini terlalu sederhana. Ia dibangun berdasar asumsi bahwa semua dokter yang ada masih aktif bekerja dan semua penduduk memiliki kebutuhan kesehatan yang sama. Padahal, tidak semua dokter yang ada bekerja di bidang klinis. Kebutuhan kesehatan setiap penduduk pun berbeda. Sebagian mungkin membutuhkan dokter umum, sebagian lagi membutuhkan dokter spesialis tertentu. Tidak bisa dipukul rata. Penggunaan parameter ini bisa menimbulkan bias dan kesalahan estimasi.

Parameter alternatif yang jamak digunakan adalah beban kerja dokter (doctor’s workload). Paremeter ini mempertimbangkan beban kerja ril dokter saat menentukan kebutuhan dokter. Beban kerja meliputi: jumlah pasien yang dilayani setiap hari, rerata waktu layanan per pasien, jumlah panggilan emergency yang diterima dan durasi tindakan medis seperti operasi atau rehabilitasi. Berdasar data ini, bisa diketahui rata-rata beban kerja dokter di berbagai daerah, baik dokter umum maupun spesialis. Dibanding rasio dokter, parameter ini lebih akurat dan spesifik.

Beberapa tahun lalu, Kemenkes pernah menggunakan parameter ini sebagai acuan. Saat itu Kemenkes menyebutkan bahwa berdasar workload, satu dokter Indonesia seharusnya melayani 2.500 penduduk. Bila parameter ini digunakan, jelas tidak ada kekurangan dokter saat ini. Berdasar parameter ini, beberapa tahun lalu Kemenkes menyebut Indonesia mengalami kelebihan dokter. Catat : kelebihan dokter; bukan sebaliknya. Bahkan Kemenkes, lewat BPPSDMK, sempat mempersiapkan program pengurangan produksi dokter dari 10 ribu menjadi 2 ribu per tahun.

Makanya, sungguh paradoks bila beberapa tahun lalu Kemenkes berupaya mengurangi produksi dokter dan sekarang justru antusias memperbanyak stok dokter.

Ketiga, keterbatasan penyerapan dokter. Saat ini, Indonesia memiliki 140 ribu dokter. Kemenkes tahun 2020 melaporkan bahwa jumlah dokter yang bekerja pada puskesmas sebanyak 25 ribu, rumah sakit 73 ribu, klinik mandiri 11 ribu dan praktik mandiri 5 ribu. Total penyerapannya sekitar 120-130 ribu. Artinya, masih ada kelebihan 10 ribu dokter yang tidak terserap pada fasilitas layanan kesehatan utama. Hal lain, penyerapan pada fasilitas layanan ini telah hampir jenuh (congested) dan tidak lagi memberikan kesempatan penambahan tenaga dokter.

Saat bersamaan, fakultas-fakultas kedokteran Indonesia setiap tahun memproduksi 10-14 ribu dokter. Artinya, pada tahun 2025 jumlah dokter akan menjadi 190-210 ribu. Bila pemerintah ingin menambah lagi 130 ribu dokter, bagaimana penyerapan tenaga dokter ini? Apakah pemerintah sudah menyiapkan sistem penyerapan yang menjamin tersalurnya stok besar ini? Bila tidak, akan timbul fenomena oversupply dokter yang akan memberat dari tahun ke tahun. Ujung-ujungnya, kesejahteraan dokter akan merosot tajam dan hal ini akan menggerus kualitas layanan.

Dengan stok 140 ribu dokter saja saat ini, kesejahteraan sebagian dokter belum memadai. Survei IDI pada ratusan dokter umum menemukan bahwa sekitar seperempat dokter umum masih memperoleh penghasilan di bawah Rp3 juta per bulan. Selain itu, 90% dokter tidak mencapai standar layak gaji yang diusulkan IDI, yaitu Rp12,5 juta per bulan. Bila jumlah dokter bertambah dua kali lipat dari saat ini, bagaimana pengaturan pekerjaan, pendapatan dan kesejahteraan dokter? Jangan-jangan yang justru terjadi adalah merebaknya pengangguran intelektual.

Jadi, narasi Menkes bahwa jumlah dokter Indonesia kurang adalah baseless. Tidak punya dasar ilmiah dan rasional. Tidak ada darurat dokter di Indonesia. Yang ada adalah ketidakseimbangan penyebaran. Ini adalah tugas Kemenkes yang tidak selesai-selesai sejak dulu. Maka yang harus diperbaiki adalah penyebaran dokter; bukan menambah dokter baru. Mengherankan: penyakitnya lain, pengobatannya lain. (*)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan