FAJAR.CO.ID, MAKASSAR, -- Badut-badut jalanan mulai berani beraksi di setiap lampu merah. Yang tadinya hanya dilakukan orang dewasa, kini anak-anak juga dieksploitasi demi selembar rupiah.
Di balik kostum lucu nan menggemaskan itu, ada anak kecil yang bercucuran keringat. Mereka kepanasan, dan harus menanggung beban beratnya kostum yang digunakan.
Belum cukup sampai di situ. Ketika lampu merah menyala, mereka harus berjoget diiringi musik dan lagu yang jauh dari kata merdu.
Di perempatan Jl Sungai Saddang dan Jl Veteran Selatan, gerombolan pengamen badut jalanan ini ikut disemarakkan oleh anak-anak usia belia. Di titik lain, Jl Masjid Raya yakni pertemuan Jl Bandang dan Jl Veteran Utara, juga terpantau aktivitas mereka ramai ditemukan.
Cukup sulit menemukan anak yang ingin berbicara. Sebut saja Aldi (bukan nama sebenarnya). Ia mengaku diajak oleh tetangganya. Bahkan kostum yang terbilang lebih berat dari tubuhnya itu sengaja disediakan. Aldi menjadi badut jalanan demi bisa mendapatkan uang.
Dari pagi sampai malam hari, Aldi harus berjoget di lampu merah. Uang yang dihasilkannya bisa mencapai ratusan ribu. Sayangnya, ia tidak benar-benar menikmati hasil keringatnya itu. Sebab harus menyetorkan seluruh "penghasilannya" kepada pemilik kostum.
"Kadang bisa dapat sampai ratusan ribu. Memang gerah dan berat dipake ini kostum, tapi sekarang sudah biasa," ucap Aldi dengan bibir kecilnya, Senin, 12 Desember.
Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial Dinas Sosial Makassar, Andi Eldi menyebut badut jalanan sudah termasuk tindakan eksploitasi anak. Pihaknya mengklaim rutin melakukan penindakan. Setidaknya dalam lima bulan terakhir, sekitar 50 badut jalanan di sejumlah titik terjaring.
Ia memaparkan, cukup banyak keterlibatan anak-anak di bawah umur yang ditemukan saat razia berlangsung.
"Kita tahan. Kita sita kostumnya. Harapannya supaya mereka tidak kembali lagi beraksi di jalanan," urai Eldi.
Para pelaku badut jalanan ini merupakan warga Makassar. Meski ada beberapa yang berasal dari luar Makassar. Di antara mereka, ada yang tidak memilik KTP saat razia dilakukan.
Andi Eldi mengaku cukup kesulitan dalam menindaki mereka. Sebab keberadaannya tetap menjamur, meski sudah berkali-kali ditahan.
"Padahal dahulu awalnya hanya ada beberapa. Sekarang hampir bisa ditemui di mana-mana," sambungnya.
Ia menambahkan, rata-rata penghasilan setiap badut itu mencapai Rp200 ribu per hari. Jumlahnya ini cukup tinggi, sebab banyak pengguna jalan yang memberi uang mereka.
Jika dijumlah dengan banyaknya badut yang terlibat, jutaan rupiah untuk satu kelompok bisa dihasilkan. "Dia (satu orang) bisa dapat sampai Rp200 ribu," terangnya.
Menurutnya, persoalan ini memang masalah klasik. Belum ada solusi komprehensif dalam menuntaskannya.
Lantaran Makassar hingga saat ini tak memiliki kawasan rehabilitasi sosial dalam penanganan komprehensif Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) ini.
Kendati lokasi sudah ditentukan, dan pembayaran tengah berproses, Andi Eldi belum mau sesumbar terkait pembangunan fisiknya. Lebih dahulu akan dilakukan Detail Engineering Design (DED) terhadap lahan seluas empat hektare di Moncong Loe, Maros itu.
Soal eksploitasi anak ini, memang menjadi kekhawatiran Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Makassar.
Kepala UPT PPA DP3A Makassar, Muslimin Hasbullah menuturkan, pihaknya juga mendapatkan beberapa kasus kekerasan di mana ada orang tua yang sengaja memaksa jumlah minimum rupiah yang harus diperoleh sang anak.
"Ada kasus yang kita tangani bersama Dissos. Si anak tidak boleh pulang ke rumahnya, kalau tidak bawa uang. Itu kita dapat dia (anak) dipukul kalau tidak bawa minimal Rp50 ribu," terang Mimin, sapaan akrabnya.
Anak yang menjadi korban tersebut, kini telah direhabilitasi secara psikologi. DP3A Makassar menitipkan korban anak itu masuk pesantren.
Di samping persoalan mengamen, tambah Mimin, anak-anak juga banyak dieksploitasi secara seksual. Hal ini juga harus menjadi keprihatinan seluruh pihak.
"Pekan lalu, saya dapat hasil kerja sama kita dengan Dissos, ada lagi praktik prositusi (anak) yang kita bongkar," pungkasnya. (*)