FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Ekonomi dan Politik, Anthony Budiawan, menilai perpanjangan masa jabatan presiden sedang berproses.
"Berbagai skenario sudah disiapkan dengan matang. Baik melalui MPR maupun PERPPU (Peraturan Presiden Pengganti Undang-Undang), atau bahkan dekrit presiden. Ada yang berpendapat, presiden dapat mengeluarkan dekrit untuk menyelesaikan segala masalah, termasuk konstitusi," bebernya.
Dia menegaskan, seolah-olah dekrit presiden adalah senjata pamungkas untuk menerobos hambatan konstitusi. "Seolah-olah dekrit presiden merupakan hukum tertinggi, lebih tinggi dari konstitusi, dan bisa mengubah konstitusi," urainya.
Menurut Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) ini, tentu saja pendapat seperti itu sangat menyesatkan dan tidak benar.
Pertama, beber dia, konstitusi Indonesia tidak mengatur atau tidak mengenal dekrit presiden, sehingga dengan sendirinya dekrit presiden tidak sah secara konstitusi.
Sebagai penggantinya, konstitusi Indonesia memberi wewenang kepada presiden untuk mengeluarkan Peraturan Presiden Pengganti Undang-Undang (PERPPU), dalam hal negara menghadapi keadaan kegentingan yang memaksa, atau darurat.
Dalam hal ini, PERPPU pada hakekatnya sama dengan dekrit presiden, tetapi terbatas hanya pada keadaan kegentingan yang memaksa, atau darurat saja.
Dekrit tidak lain adalah keputusan atau perintah atau maklumat dari eksekutif, umumnya kepala negara atau kepala pemerintah. Di Amerika Serikat, dekrit presiden dikenal dengan executive order.