FAJAR.CO.ID, MAKASSAR -- Nilai lokal terus tergerus. Praktik asosial menjadi fenomena era digital.
Jagat WhatsApp heboh atas video korban penikaman di Malino, Kecamatan Tinggimoncong, Gowa, pekan ini. Dua korban, tergeletak di pinggir jalan tanpa ada yang segera menolong.
Saat bersamaan, massa mengelilingi, sebagian hanya sibuk merekam. Tak ada upaya serius untuk melakukan upaya pertolongan pertama, alih-alih mencari kendaraan untuk membawa korban ke fasilitas kesehatan.
Situasi ini memunculkan banyak kritik. Massa yang ada di TKP, dianggap kurang peka, dengan membiarkan korban dengan luka tikam, berjuang sendiri. Akibat peristiwa ini, satu korban tewas, satu lagi luka parah.
Sejatinya, tolong menolong adalah nilai lokal Sulsel. Sayang, kemunculan teknologi mengubah banyak hal. Era digital melahirkan publik yang selfish, ingin disebut sebagai "reporter" pertama atas sebuah peristiwa.
Makanya, ketika ada kecelakaan dan insiden yang membutuhkan pertolongan, mereka hanya memikirkan smartphone, lalu merekamnya. Setelah itu, baru melakukan upaya pertolongan. Kondisi ini cenderung ke karakter asosial.
Perilaku merasa "peduli" yang ditonjolkan dengan membantu orang lain seakan-akan terkikis. Digantikan dengan kebutuhan konten video atau foto semata. Fenomena ini biasa disebut fear of missing out (fomo).
Fomo merupakan perasaan cemas yang timbul karena sesuatu yang menarik dan menyenangkan sedang terjadi. Seringkali disebabkan karena unggahan di media sosial. Fomo ini terjadi di kalangan pengguna sosial media.