FAJAR.CO.ID -- Mahkamah Konstitusi (MK) diminta berhati-hati dalam memutuskan perkara penggunaan sistem pemilu 2024. Mahkamah Konstitusi diharapkan berdiri secara tegak dan adil dalam mengadili perkara tersebut. Jangan sampai ada dugaan bahwa MK cenderung tidak berlaku adil karena lebih memilih salah satu sistem daripada yang lainnya.
Ketua Fraksi PAN DPR RI, Saleh Partaonan Daulay, mengatakan bahwa Sejak 2008, sistem Pemilu yang dipakai adalah sistem proporsional terbuka. Sistem tersebut diberlakukan sebagai bentuk ketaatan kepada putusan MK tanggal 23 Desember 2008 yang menyatakan bahwa pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan begitu, MK menyatakan bahwa sistem pemilu yang digunakan adalah sistem suara terbanyak.
"Keputusan MK itu sudah benar. Buktinya, sudah dipakai berulang kali dalam pemilu kita. Setidaknya pada pemilu 2009, 2014, dan 2019. Sejauh ini tidak ada kendala apa pun. Masyarakat menerimanya dengan baik. Partisipasi politik anggota masyarakat juga tinggi. Sebab, dengan sistem itu, siapa pun berpeluang untuk menang. Tidak hanya yang menempati nomor urut teratas," urai Saleh melalui keterangannya kepada fajar.co.id, Jumat (30/12/2022).
Ketika membacakan pertimbangan majelis, lanjutnya, Hakim Konstitusi, Arsyad Sanusi, menyampaikan argumen bahwa sistem penetapan anggota legislatif berdasarkan nomor urut bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dijamin konstitusi. Hal tersebut merupakan pelanggaran atas kedaulatan rakyat. Sebab, kehendak rakyat yang tergambar dari pilihan mereka tidak diindahkan dalam penetapan anggota legislatif.