Bahkan lebih lanjut Arsyad kala itu mengatakan bahwa dasar filosofi dari setiap pemilihan atas orang untuk menentukan pemenang adalah berdasarkan suara terbanyak. Menurutnya, memberlakukan sistem nomor urut berarti memasung hak suara rakyat untuk memilih sesuai pilihannya. Selain itu, sistem ini telah mengabaikan tingkat legitimasi politik calon terpilih.
"Argumen itu jelas tertuang dalam pertimbangan hukum majelis ketika itu. Tentu sangat aneh, jika argumen bagus dan rasional seperti itu dikalahkan. Apalagi, putusan MK itu kan sifatnya final dan mengikat," ujar legislator dari Dapil Sumut II itu.
"Kalau sudah final, sudah mengikat, sudah dipraktikkan, kok masih mau diubah? Kelihatannya ada yang memiliki agenda besar di dalam pengujian pasal sistem pemilu ini," kritiknya.
Mantan Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah ini berharap agar para hakim konstitusi tetap konsisten dengan putusan yang sudah pernah dibuat oleh para hakim sebelumnya. "Ini penting untuk menjaga wibawa dan kepercayaan masyarakat kepada lembaga peradilan kita. Terutama kepada Mahkamah Konstitusi yang lebih dikenal sebagai the guardiance of the constitution," jelasnya.
Dalam konteks pengujian UU pemilu di MK, kelihatannya ada beberapa isu strategis lain yang tidak dikabulkan oleh MK. Salah satu di antaranya adalah pengujian pasal terkait presidential threshold. Ada banyak lembaga dan elemen yang sudah mengajukan JR untuk menghapus Presidential Threshold tersebut. Tetapi, MK tidak pernah mengabulkannya.
"Ada apa ini? Yang nyata berpihak pada rakyat seperti ini tidak dikabulkan? Yang sesuai dan sejalan dengan keinginan rakyat malah mau diganti? Ini yang menjadi desas-desus di tengah masyarakat yang perlu diperhatikan oleh para hakim MK. Kalau memakai pendekatan rasionalitas dan hati nurani, sepertinya suara dan keinginan rakyat haruslah didahulukan oleh MK," tutup Saleh. (sam/fajar)