FAJAR.CO.ID,MAKASSAR — Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Makassar bersama Pemerintah Kota (Pemkot) Makassar satu suara mendorong Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang penyimpangan seksual atau LGBT.
Ketua Komisi D DPRD Makassar, Andi Hadi Ibrahim Baso mengatakan, Ranperda tersebut belum masuk dalam pembahasan, masih butuh proses panjang untuk disahkan.
Walau demikian, kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) memastikan pembahasannya akan berjalan. Apalagi karena sudah masuk dalam Program Legislasi Daerah (Prolegda) 2023.
“Sudah masuk (Prolegda 2023),” ungkap pria yang karib disapa Hadi ini kepada fajar.co.id, Kamis (5/1/2023) melalui sambungan telpon.
Hadi bilang, Ranperda itu adalah inisiatif dari DPRD Kota, yakni dari Komisi D yang dipimpinnya. Sementara itu, Pemkot Makassar melalui Wali Kota Makassar Danny Pomanto telah menyatakan sikap setuju.
“Kalau pemerintah acc (setuju), kami acc (setuju), siapa yang mau tahan? Akan jalan itu,” ujar Hadi .
Soal gambaran Ranperda ini, Hadi tidak merinci apa saja yang diatur hingga sanksinya, namun ia menyebut akan banyak belajar dari beberapa daerah di Indonesia yang telah menerapkan, misalnya Kota Bogor dan Kota Medan.
“Nanti akan diselesaikan oleh tim naskah akademik. Kita tunggu saja pembahasannya. Kita hanya memasukkan. Kan melibatkan kampus kampus juga,” jelasnya.
Di sisi lain, Ranperda tentang penyimpangan seksual ini mendapat kritikan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar. Rancangan regulasi ini dianggap melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).
“Pembentukan perda jelas melanggar HAM karena diskriminatif terhadap kelompok minoritas gender dan seksual. Dampaknya bisa semakin memicu kekerasan dan diskriminasi oleh masyarakat,” terang Ketua Divisi Gender dan Anak LBH Makassar, Rezky Pratiwi kepada fajar.co.id, Kamis (5/1/2023).
“Selain itu pembentukan perda juga melanggar asas pembentukan perundang-undangan, utamanya asas kesamaan kedudukan di hadapan hukum dan asas kemanusiaan,” sambung alumni Universitas Hasanuddin ini.
Perempuan yang karib disapa Tiwi ini juga mengatakan, meskipun Ranperdanya inisiatif dari dewan, mestinya Pemkot Makassar sebagai eksekutif tidak membiarkan aturan ini. Ia bilang Wali Kota sebagai pejabat eksekutif berpotensi terlibat dalam pelanggaran HAM.
“Pemkot atau eksekutif semestinya menggunakan kewenangannya dalam pembentukan perda untuk memastikan setiap warganya mendapat perlindungan hukum serta aman dari diskriminasi dan kekerasan, bukan sebaliknya,” jelasnya.
(Arya/Fajar)