FAJAR.CO.ID, MAKASSAR-- Komisi D DPRD Makassar menilai penggodokan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) LGBT adalah demi memanusiakan manusia.
Ketua Komisi D DPRD Makassar, Andi Hadi Ibrahim Baso mengatakan, soal pro dan kontra yang terjadi di tengah masyarakat terkait ranperda ini dianggap terlalu dini.
Apalagi telah ada tanggapan pihak yang menilai perda ini terkesan diskriminatif terhadap satu kelompok. Menurut Hadi, setiap ranperda harus melalui kajian yang mendalam oleh pakar-pakar terkait. Seperti akademisi yang bertugas sebagai tim ahli penyusun naskah akademik.
Selain itu, pembahasan juga harus menyentuh latar belakang hukum dan sosial agar isu-isu diskriminatif bisa dihindari.
"Jadi mereka (tim ahli) yang berpikir. Setelah jadi draftnya, itu dibahas di DPRD. Dengan adanya ranperda ini, semua pihak akan diakomodasi untuk kepentingan bersama. Jangan langsung berpikir negatif ada kelompok yang didiskriminasi," tegas Hadi, Jumat, 6 Januari.
Legislator PKS ini memaparkan, banyak tinjauan dan sudut pandang dari pakar terhadap ranperda ini. Sementara fungsi DPRD, adalah membuat aturan untuk mengayomi seluruh masyarakat, bukan mendiskriminasi kalangan tertentu.
"Jadi sangat prematur, kalau ada anggapan yang mengatakan diskriminasi. Kita ini hidup dalam negara yang ada Undang-undangnya," tegasnya.
Makassar memiliki budaya tersendiri menyikapi masalah ini. Apalagi dari tinjauannya, diklaim beberapa daerah sudah memiliki perda serupa. Seperti Bogor dan Bekasi.
DPRD hanya ingin memastikan generasi di Makassar ini tetap terjaga dan terlindungi. Apalagi masalah LGBT ini tidak mendapat dukungan di agama mana pun.
Hadi menambahkan, kajian ranperda ini masih panjang ke depan. Statusnya masih mengendap dalam Prolegda 2023 dan mengantre untuk dibahas DPRD Makassar.
"Yang jelas kita akan mengarah ke situ. Melibatkan banyak orang, organisasi masyarakat, tokoh, dan kita juga punya ahli hukum di DPRD," urainya.
"Artinya dengan adanya perda ini, kita semuanya ingin membuat aturan yang memanusiakan manusia. Kembali ke jati diri sebenarnya. Kita tunggu saja," paparnya.
Pedang Bermata Ganda
Sementara itu Pengamat Sosiologi Hukum Universitas Hasanuddin, Prof Arfin Hamid menilai langkah DPRD ini tidaklah tepat. Sebab hal ini bisa menjadi pedang bermata ganda.
Penggodokan ranperda ini menjadi perda justru akan memberikan legitimasi hukum bagi kalangan LGBT yang selama ini masih tanpa status di Indonesia.
Apalagi LGBT ini sedari dulu terus mencari legitimasi dengan mencari panggung lewat kampanye-kampanye terselubung.
"Standing-nya saja belum jelas. Dia sudah minta panggung, apalagi sudah ada perda ini, bisa kian memancing keresahan masyarakat, jadi ini dipandang kurang paslah untuk kita," jelasnya.
Di samping itu LGBT ini bukan fenomena baru. Kalangan ini umumnya menyembunyikan jati diri mereka di hadapan publik. Namun diakui dewasa ini keberadaan mereka kian ramai di khalayak publik.
"Karena mereka bisa berlindung di belakang HAM. Mereka minta dihargai lewat ciptaan Tuhan yang kebetulan seperti itu," terang dia.
Dengan pertimbangan ini, menurutnya tak perlu regulasi ini digodok lewat perda. Yang perlu dimasifkan adalah menekan keberadaan LGBT dengan cara berdakwah. (an/yuk)