Misteri Pulau Onrust membuncah rasa penasaran. FAJAR.CO.ID pun belum lama ini menyambangi salah satu pulau eksotis nan memesona di Kepulauan Seribu ini.
Pulau ini masih banyak menyimpan benda arkeologi pada masa kolonial Belanda yang tersimpan di dalam museum di pulau ini.
Nuansa pagi begitu berbeda. Berada di pemukiman nelayan di pesisir utara Jakarta, Kamal Muara. Kamal Muara terletak di Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara.
Untuk ke dermaga penyeberangan ke Pulau Onrust, tidak jauh dari Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Muara Kamal.
Umumnya mereka yang mengendarai sepeda motor, memilih memarkir kendaraannya di pelataran Masjid Nurul Bahar.
Di samping masjid tersebut, sejumlah perahu tertambat. Yah, lokasi itu menjadi dermaga penyeberangan.
Namun, FAJAR.CO.ID, memilih dermaga lainnya yang tak jauh dari Masjid Nurul Bahar. Berjalan di atas jembatan kecil dari bambu. Deretan rumah panggung berdiri berhimpitan di pesisir pantai.
Dari salah satu rumah panggung tersebut, tanpa sengaja terdengar dua orang bercakap menggunakan bahasa Bugis. Mafhum, Kawasan ini hampir sebagian besar warganya bersuku Bugis.
Di antara deretan rumah panggung itulah, ada gang sempit menuju dermaga kecil dari bambu yang menjorok keluar ke laut. Sejumlah kapal nelayan tertambat di dermaga.
Sudah ada empat pria yang duduk di geladak kapal yang akan ditumpangi FAJAR.CO.ID untuk menyeberangi Pulau Onrust.
Mereka membawa peralatan pancing. Penumpang lainnya, seorang perempuan warga salah satu gugusan pulau di Kepulauan Seribu.
Ombak yang tenang. Kapal Motor perlahan meninggalkan dermaga dan membelah lautan. Melintas di bawah jembatan Pantai Indah Kapuk II. Dari kejauhan, gedung pencakar langit berdiri megah.
Sesekali gelombang kecil menghempas kapal.
Dari balik ruangan kemudi, kedua tangan pria yang wajahnya dibaluti bulu lebat itu berada di kemudi kapal. Matanya mengawasi deretan rumpon dan perahu nelayan di sekitarnya.
Kedua ujung bibir pria itu meninggi, memperlihatkan deretan giginya. Ia tersenyum.
Si brewok sesekali melambaikan tangannya ke arah nelayan yang berada di atas perahu saat berpapasan di tengah laut di antara deretan rumpon yang dilalui kapal yang dikemudikannya.
Hampir 30 menit perjalanan. Kapal yang membawa kami singgah terlebih dahulu di Pulau Cipir. Dilanjutkan ke Pulau Onrust yang memang jaraknya sekitar 100 meter.
Nama 'Onrust' sendiri diambil dari bahasa Belanda yang berarti 'Tidak Pernah Beristirahat' atau dalam bahasa Inggrisnya adalah 'Unrest'. Namun ada juga sumber lain yg mengatakan bahwa nama Onrust tersebut diambil dari nama penghuni pulau yang juga masih keturunan bangsawan Belanda, yaitu Baas Onrust Cornelis van der Walck.
Pulau ini terdapat banyak peninggalan benda arkeologi pada masa kolonial Belanda.
Dalam perjalanan kali ini FAJAR.CO.ID bertemu dengan salah seorang pemandu wisata di Taman Arkeologi Onrust, Kepulauan Seribu, Ridwan Saide.
Ia pun mengajak untuk mengenal lebih jauh sejumlah peninggalan arkeologi yang berada di museum di pulau tersebut.
Pria yang senang memakai topi rimba ini banyak menjelaskan keberadaan Pulau Onrust. Tak hanya itu, pria keturunan Bugis ini pun mengajak FAJAR.CO.ID ke kompleks pemakaman di pulau itu.
Di kompleks tersebut terdapat makam Maria van de Veldes Lijk. Di nisannya terpahat penggalan puisi berbahasa Belanda.
"Mayatnya terkubur
Walaupun dia pantas hidup
Bertahun-tahun lamanya
Seandainya Tuhan
Berkenan demikian
Namun, rupanya Jehova menghalangi itu dengan kematiannya
Maria hilang, Maria tiada lagi," demikian penggalan puisi tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Di pulau ini, FAJAR.CO.ID juga bertemu salah seorang warga di pulau ini. Saat itu, ia sibuk melayani sejumlah pembeli di warungnya yang berada di Pulau Onrust. Amir merupakan penjaga Pulau Onrust. Pria bersuku Bugis ini merupakan generasi kedua yang menjaga pulau ini.
Ia mengenang, medio 1987 banyak orang yang mencari harta karung di pulau ini. Ia pun menceritakan pengalamannya saat itu.
Suara dentingan linggis beradu dengan bebatuan terdengar jelas di telinga Amir (71). Di tengah kegelapan, ia pun menuju ke salah satu sudut pulau yang dijaganya, mencari sumber suara itu.
Betapa kagetnya Amir, dia menjumpai tiga orang yang sedang melakukan pencarian harta karun. Medio 1987, perburuan harta karun marak di salah satu gugusan Kepulauan Seribu, Pulau Onrust. Saat itu, pulau ini banyak ditumbuhi rerumputan liar dan semak belukar.
Ia meneruskan pekerjaan yang pernah diemban ayahnya, Ambo Asse, sebagai penjaga Pulau Onrust.
Amir menceritakan, sebelum menginjakkan kakinya di Pulau Onrust, ayahnya itu meninggalkan kampung halamannnya di Kabupaten Bone dan bermukim di Kota Makassar. Kabupaten Bone dan Ibu Kota Provinsi Sulsel itu, berjarak kurang lebih 131,5 kilometer.
Kemudian meninggalkan Kota Anging Mamiri dan menuju Pulau Jawa. Ambo Asse melabuhkan pilihannya di Pulau Bangka Belitung.
"Delapan bulan menetap di Bangka Belitung, Ambo Asse pun pindah ke Pulau Untung Jawa. Pada 1973, ia memilih menetap di Pulau Onrust dan diangkat sebagai honorer di Bapeda DKI Jakarta Utara," bebernya ditemui belum lama ini. (eds)