Mengapa MK Harus Tolak Gugatan Sistem Pemilu Proporsional Tertutup? Perludem Beber Alasannya

  • Bagikan
Gedung Mahkamah Konstitusi (int)

FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Dewan Penasihat Perludem, Titi Anggraini menyebut pada dasarnya setiap sistem pemilu baik proporsional tertutup maupun terbuka punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Tidak ada sistem pemilu yang benar-benar ideal.

Oleh karena itu, untuk menutupi berbagai kekurangan tersebut, pilihan atas sistem pemilu juga harus disertai dukungan fungsionalisasi elemen-elemen kepemiluan lainnya.

Berupa antara lain, adanya penyelenggara pemilu yang berintegritas; kompetisi antar peserta pemilu yang adil, setara, dan kompetitif; pemilih yang terliterasi dengan baik; serta penegakan hukum pemilu yang efektif dan berkeadilan.

"Perludem meminta Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan sistem pemilu proporsional tertutup yang diajukan kader parpol," kata Titi Anggraini kepada wartawan sesaat lalu.

Ia memaparkan, pilihan atas sistem pemilu legislatif apa yang akan diambil, sejatinya merupakan hasil konsensus pembentuk undang-undang yang harus menghadirkan proses partisipasi yang bermakna (meaningful participations) dalam pembuatan keputusannya.

Dalam hal ini, bukan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menentukan sistem pemilu atau varian sistem pemilu mana yang konstitusional untuk diadopasi dalam penyelenggaraan pemilu legislatif di Indonesia.

Hal itu dikarenakan UUD 1945 secara eksplisit hanya mengatur sistem pemilu presiden dan wakil presiden sebagaimana ketentuan Pasal 6A Ayat (3) dan (4).

Sedangkan untuk pemilu legislatif dan pilkada, UUD 1945 lebih menekankan pada prinsip-prinsip penyelenggaraannya, yaitu secara luber, jurdil, dan berkala. Dengan tetap merujuk pada nilai-nilai demokrasi konstitusional yang terkandung dalam pasal-pasal UUD NRI Tahun 1945.

Titi membeberkan, peran Mahkamah Konstitusi adalah memastikan bahwa pertama, prinsip-prinsip konstitusionalitas pemilu yang ada dalam UUD NRI Tahun 1945 benar-benar diterapkan secara konsisten dalam pilihan sistem pemilu yang diambil oleh pembentuk undang-undang, serta kedua, pilihan atas sistem pemilu tersebut juga koheren dengan tujuan-tujuan pemilu yang ingin diwujudkan.

"Selain itu, proses dalam membuat pilihan atas sistem pemilu tersebut juga dilakukan pembentuk undang-undang melalui prosedur pelibatan partisipatoris seluruh pemangku kepentingan kepemiluan secara sungguh-sungguh bermakna (meaningful participations),” tegasnya. (Arya/fajar)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan