FAJAR.CO.ID, JAKARTA-- Sempat tertunda tiga kali, sidang lanjutan gugatan sistem pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya terselenggara.
Dalam sidang kemarin (26/1), agendanya adalah mendengarkan keterangan dari Presiden Joko Widodo dan DPR RI. Namun, Fraksi PDI Perjungan memilih sikap berbeda.
Presiden tidak memberikan keterangan langsung. Namun, diwakili oleh Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Bahtiar. Dalam pendapatnya, pemerintah menilai sistem proporsional terbuka yang berlaku sudah sesuai konstitusi.
Hal itu sejalan dengan Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 yang mengamanatkan bahwa kedaulatan di tangan rakyat. Termasuk untuk memilih anggota legislatif. Nah, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 merupakan salah satu cara mewujudkan kedaulatan rakyat berdasarkan nilai-nilai Pancasila.
Menurut Bahtiar, pemerintah juga berpendapat bahwa sistem Pemilu masuk dalam ranah open legal policy atau kebijakan hukum terbuka yang dibuat pembuat Undang-undang. Dalam perumusannya pun sudah disesuaikan dengan memperhatikan kondisi empiris.
Berdasarkan kajian akademik saat penyusunan UU Pemilu dilakukan, sistem terbuka dinilai masih relevan untuk digunakan. Sistem terbuka juga dinilai paling adil bagi masyarakat.
"Akan lebih sederhana siapa yang berhak terpilih. Calon yang memiliki dukungan rakyat paling banyak," imbuhnya.
Lagi pula, lanjut Bahtiar, saat ini tahapan Pemilu sudah berjalan. Jika terjadi perubahan mensadar di tengah proses yang berjalan, dikhawatirkan memunculkan masalah. "Berpotensi menimbulkan gejolak sosial politik maupun masyarakat," tegasnya.
Senada dengan pemerintah, DPR juga menyampaikan pendapat untuk tetap mempertahankan sistem terbuka. Supriansa yang mewakili DPR mengatakan, proporsional terbuka lebih menjamin prinsip keterwakilan. Artinya, setiap warga dijamin memiliki wakil yang duduk di lembaga perwakilan untuk menyuarakan aspirasi mereka.
Pemilu yang baik, lanjut dia, harus menjamin partisipasi aktif dan keterwakilan yang dapat dipertanggungjawabkan. Semua itu, lebih bisa terpenuhi melalui sistem terbuka.
“Hal tersebut akan menciptakan suatu keadilan, tidak hanya bagi anggota legislatif melainkan juga bagi rakyat," ungkapnya.
Kemudian, DPR juga berpendapat sistem terbuka mengurangi ketergantungan anggota terpilih dari parpol. Sebab, harus memperhatikan pemilih. Hal itu juga sejalan dengan pertimbangan Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008.
“Dengan demikian, rakyat sebagai subyek utama dalam prinsip kedaulatan rakyat tidak hanya ditempatkan sebagai obyek Pemilu dalam mencapai kemenangan semata," terangnya.
Sementara itu, Fraksi PDIP DPR RI menyampaikan pendapat berbeda dengan kelembagaan DPR.
Anggota Fraksi PDIP Arteria Dahlan mengatakan, sistem terbuka membuat posisi partai menjadi sangat lemah. Padahal, konstitusi memberikan kewenangan pada partai untuk mengirim perwakilan yang terbaik.
Dalam sistem terbuka, lanjut Arteria, sistem politik sangat liberal. Orang dengan kapital besar, bisa mengalahkan kader partai yang dididik lama. "Orang baru sehari masuk partai, siapapun bisa terpilih," jelasnya.
PDIP juga menilai sistem proporsional terbuka membuat praktik money politic tumbuh subur. Kekuatan uang memiliki andil besar. Kader-kader partai terbaik yang tidak memiliki kekuatan modal, sulit untuk bisa terpilih. "Mereka yang memiliki kapital besar saja yang mampu survive," terangnya.
Sidang di MK kali ini digelar secara luring. Suasana ruang sidang pun terasa lebih ramai dibandingkan sebelum-sebelumnya. Setelah mendengarkan pendapat dari pemerintah dan DPR, sidang lanjutan akan digelar pada Kamis, 9 Februari mendatang.
Keputusan pasti tentang sistem Pemilu tersebut tampaknya masih beberapa pekan lagi. Padahal, parpol berharap sistem Pemilu bisa segera diputuskan lantaran menyangkut tahapan dan persiapan para bakal caleg. (far/hud/jpg/fajar)