FAJAR.CO.ID, MAKASSAR-- Tim Kuasa Hukum Keluarga Almarhum Virendy, Yodi Kristianto,Lusin Tammu, dan Cesar Depaska Kulape, menyampaikan kabar terbaru penanganan kasus meninggalnya Virendy, mahasiswa Fakultas Teknik Arsitektur Unhas, Selasa (31/01/2023).
Korban sendiri tewas saat mengikuti Diksar & Ormed Mapala 09 FT Unhas di Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros.
Pihaknya mengakui telah mengemukakan sejumlah kejanggalan dalam meninggalnya Virendy.
"Informasi yang simpang siur mengenai bagaimana proses evakuasi dan penanganan kesehatan Virendy pada waktu kritis, hingga indikasi ada upaya untuk menghalang-halangi keluarga untuk mengetahui bagaimana sebenarnya situasi dan kondisi di lapangan," kata Yodi Kristianto kepada awak media.
Berdasarkan informasi yang diterima dari pihak keluarga, panitia Diksar Mapala 09 tidak membeberkan kondisi sebenarnya korban saat berada di RS Grestelina. Panitia hanya mengatakan bahwa kondisi Virendy kritis, hingga keluarga mencari di Ruang IGD, tetapi akhirnya mendapati korban telah berada di Kamar Mayat.
"Ada ketidakkonsistenan informasi yang diberikan pihak Mapala 09 FT Unhas saat diberondong pertanyaan oleh pihak medis RS Grestelina maupun pihak keluarga yang ingin mengetahui secara pasti penyebab kematian Almarhum," tutur Yodi Kristianto.
Yodi merinci saat itu, Ketua Mapala 09 FT Unhas, Ibrahim mengatakan kepada keluarga bahwa panitia dan peserta yang lain tetap melanjutkan kegiatan Diksar. Namun setelah ditelusuri, semua peserta telah dipulangkan ketika proses evakuasi Virendy.
Demikian juga ketika dicecar tanya oleh pihak medis RS Grestelina mengenai keberadaan panitia yang menurut Ibrahim sedang menuju Polres Maros saat mereka mengantarkan Virendy ke RS Grestelina. Padahal menurut Ayah almarhum, James, tidak ada laporan polisi mengenai adanya korban dalam pelaksanaan Diksar.
"Itu bohong belaka," tegas Yodi Kristianto mengutip pernyataan Ayah Almarhum.
Yodi mengaku sudah wajar jika pihak keluarga menaruh kecurigaan bahwa panitia menyembunyikan sesuatu di sini. Misalkan pernyataan bahwa Viren berada dalam kondisi kritis saat evakuasi, tetapi bukannya dievakuasi ke rumah sakit terdekat, malahan korban di bawa ke RS Grestelina Makassar.
"Saat ditanyai keluarga, Ibrahim menjawab "Itu keputusan rapat." Apakah Anda harus merapatkan dahulu saat seseorang sudah hampir meregang nyawa? Bukankah ada berapa rumah sakit yang Anda lewati saat perjalanan dari Maros ke Makasaar? Dan mengapa harus RS Grestelina, sedangkan Anda tahu seberapa jauh jarak Maros dengan Makassar ?," lanjutnya.
Karena itu, Yodi menyimpulkan sejak awal ada yang salah dengan kasus kematian Virendy.
"Mulai dari tidak adanya izin kegiatan dari pihak kepolisian, tidak ada pendamping dari pihak kampus, tidak mengikutkan tim medis, hingga keberadaan ketua panitia yang hingga hari ini belum jelas untuk dimintai keterangan," ucapnya lagi.
Hingga saat ini, kata Yodi tidak ada satupun dari pihak kampus yang datang secara kelembagaan, menyampaikan dukacita atau santunan secara langsung ke pihak keluarga.
Padahal menurutnya, korban adalah bagian dari keluarga besar kampus Unhas. Namun dari dekanat hingga Rektorat tidak satupun yang memiliki waktu untuk menemui keluarga Virendy.
"Bahkan dari informasi yang kita dapatkan dari rekan-rekan media, dan ini sangat saya sesalkan, tetapi kita punya saksi, bahwa pihak kampus seakan mencuci tangan terkait musibah ini, bahwa karena kegiatan dilakukan di luar kampus, maka pihak kampus tidak bertanggung jawab akan hal ini, bahwa keluarga telah mengikhlaskan, bahwa Pimpinan kampus akan menemui keluarga tetapi sampai hari ini sekedar pencitraan belaka," beber Yodi Kristianto.
Menurut Tim Kuasa Hukum, seharusnya berdasarkan dua alat bukti yang cukup, pihak penyidik telah menetapkan tersangka. Mereka keluarga almarhum selaku pelapor telah membeberkan bahwa luka-luka lebam di kepala, tangan dan kaki korban, bukti foto yang menunjukkan kondisi korban, sudah dapat dijadikan bukti petunjuk ditambah keterangan saksi-saksi untuk menetapkan tersangka, berdasarkan pasal 184 KUHAP.
"Saya bahkan dengan melihat foto-foto jenazah saat dimandikan dapat menyimpulkan, setidaknya korban mendapat pukulan benda tumpul dengan adanya luka lebam di kepala, korban mungkin juga dianiaya dan diseret yang dibuktikan dengan adanya luka lebam di bagian punggung, tangan dan kaki," nilai Tim Kuasa Hukum.
"Penyidik sepatutnya menduga bahwa telah terjadi tindak pidana pembunuhan dan memenuhi unsur pasal 338 KUHP. Pembunuhan adalah delik biasa dan tidak dibutuhkan aduan untuk bisa memprosesnya," demikian komentar Tim Kuasa Hukum.
Bahkan jika terbukti ada upaya untuk menghalang-halangi proses hukum dalam penanganan kasus Virendy, juga bisa dijerat pidana berdasarkan pasal 221 KUHP.
"Kami akan memastikan bahwa pihak-pihak terkait akan diproses sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, baik apabila terbukti secara sengaja ataupun karena kelalaiannya menyebabkan hilangnya nyawa saudara Virendy," tegas Yodi Kristianto.
"Kami akan menempuh jalur hukum, baik pidana maupun perdata untuk memastikan pemenuhan kepentingan hukum keluarga almarhum Virendy," tutupnya. (muhsin/fajar)