“Ada beberapa contoh saluran drainase di Kota Makassar yang tidak dalam kondisi optimal adalah Cross Drain di Jalan Pettarani yang penuh dengan utilitas seperti kabel dan pipa selanjunya Jalan Andi Jemma yang tidak optimal akibat penyangga beton tidak dibersihkan sehingga sampah tersangkut di dalam saluran. Sementara Sungai Daya yang terletak tak jauh dari Jalan Poros Provinsi dengan lebar 25 Meter, menyempit di Muara menjadi 1 Meter,” paparnya.
Farouk menegaskan, masyarakat harus menjaga agar tidak membuang sampah di drainase karena dampaknya akan terlihat pada saat hujan.
Dampak yang ditimbulkan adalah kapasitas saluran berkurang serta terjadi penumpukan pada penghalang tertentu yang menyebabkan saluran menjadi tersumbat.
Disisi lain, Pemerintah harus mengontrol pemanfaatan ruang yang mengganggu sistem drainase yang ada.
Selain itu, dalam mengontrol pembangunan, harus memperhatikan Rencana Umum Tata Ruang, terutama daerah sempadan sungai dan alur drainase.
Beberapa saluran ditemukan mengalami penyempitan dan pendangkalan akibat perijinan pembangunan yang tidak terkontrol.
Disamping itu, beberapa wilayah yang awalnya menjadi kantong air berubah menjadi pemukiman.
Oleh sebab itu, seyogyanya setiap pengembang yang melakukan pembangunan dengan memanfaatkan bekas kantong air, harus mempersiapkan kolam komunal sebagai kolam retensi atau detensi.
Khusus Kota Makassar, System Drainase yang ada terdiri dari System Drainase Primer berupa sungai dan kanal yang menjadi kewenangan Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pompengan Jeneberang Kementerian PUPR, sedangkan Drainase Sekunder/Tersier menjadi Kewenangan Kota Makassar, sehingga secara operasi dan pemeliharaan menjadi tanggung jawabnya.