Merajut Harapan Demokrasi Indonesia

  • Bagikan

Yusriadi
Wartawan

Demokrasi telah dipilih bangsa Indonesia untuk menentukan pemimpin dan menjalankan sistem pemerintahan. Seyogyanya terus dirawat dan dimatangkan, agar benar-benar sesuai fitrahnya.

Istilah demokrasi tentu tak asing bagi kita. Di lingkungan keluarga, nilai-nilainya pun telah dijalankan. Misal saat ibu bertanya, "mau makan apa hari ini?". Termasuk ketika berembuk dengan pilihan terbanyak untuk menentukan tujuan liburan akhir pekan.

Secara etimologi, demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu ‘demos’ yang bermakna rakyat atau khalayak, dan ‘kratos’ yang bermakna pemerintahan. Jika digabungkan, maka demokrasi memiliki makna ‘kekuasaan rakyat’.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), demokrasi diartikan sebagai bentuk atau sistem pemerintahan yang seluruh rakyat turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya yang terpilih.

Dengan kata lain, demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang mengizinkan dan memberi hak kebebasan kepada warga negaranya. Terutama untuk berpendapat dan turut serta dalam pengambilan keputusan di pemerintahan.

Mengutip dari laman brainacademy.id, gagasan tentang demokrasi sebagai sistem pemerintahan berasal dari kebudayaan Yunani, tepatnya abad ke-5 sebelum masehi.

Dalam buku berjudul Thrones of Democracy yang ditulis oleh Walter A. Mcdougall, disebutkan bahwa pada tahun 1829-1877 terdapat pergolakan demokrasi yang terjadi di Amerika Serikat. Pada saat itu, demokrasi murni atau demokrasi langsung adalah sistem yang diusung, sehingga seluruh perkara kenegaraan harus dibicarakan langsung dengan rakyatnya.

Berselan ratusan tahun kemudian, tepatnya pada abad ke-6, bentuk pemerintahan yang relatif demokratis diperkenalkan ke negara-negara bagian Athena oleh Cleisthenes pada tahun 508 SM. Saat itu, Athena menganut demokrasi langsung dan memiliki dua ciri utama, yaitu pemilihan warga secara acak untuk mengisi jabatan administratif dan yudisial di pemerintahan, serta majelis legislatif yang terdiri dari semua warga Athena.

Namun gagasan demokrasi Yunani hilang dari dunia barat ketika Eropa memasuki Abad Pertengahan (6-15 masehi). Karena pada saat itu terjadi praktik feodalisme, seperti kehidupan sosial spiritual dikuasai gereja, dan kehidupan politik dikuasai bangsawan.

Awal kembalinya demokrasi ditandai dengan munculnya piagam Magna Charta pada tahun 1215 di Inggris. Magna Charta adalah sebuah dokumen yang menunjukkan bahwa kekuasaan Raja terbatas dan melindungi hak-hak tertentu rakyat.

Empat Sistem

Sejarah demokrasi Indonesia sendiri setidaknya dapat diamati dari empat macam sistem demokrasi yang pernah diterapkan dalam kehidupan ketatanegaraan bangsa. Dimulai dari Demokrasi Parlementer pada rentan tahun 1945 hingga 1959.

Awal dari praktik Demokrasi Parlementer yaitu pada periode pertama Penetapan UUD 1945, tepatnya tahun 1945-1949. Namun karena kehidupan politik pada saat itu tidak stabil, demokrasi parlementer ini tidak berjalan dengan baik, sehingga mengakibatkan program-program yang dibuat pemerintah tidak berjalan secara berkesinambungan.

Demokrasi ini akhirnya berakhir secara yuridis pada tanggal 5 Juli 1959, bersamaan dengan pemberlakuan kembali UUD 1945.

Kemudian dilanjutkan dengan Demokrasi Terpimpin pada 1959 hingga 1965. Tepat 22 April 1959, Presiden Soekarno ketika itu menyampaikan amanat kepada konstituante (dewan pembentuk UUD) tentang pokok-pokok demokrasi terpimpin.

Antara lain, demokrasi terpimpin bukan diktator. Demokrasi terpimpin sesuai dengan dasar hidup dan kepribadian  bangsa Indonesia. Demokrasi terpimpin berarti demokrasi di seluruh persoalan kenegaraan dan kemasyarakatan, termasuk sosial, politik, dan ekonomi.

Inti pimpinan di dalam demokrasi terpimpin adalah permusyawaratan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan. Di dalam demokrasi terpimpin, oposisi wajib mampu melahirkan pendapat yang sehat dan membangun.

Sayangnya, segala konsep pada pokok-pokok Demokrasi Terpimpin hanya isapan jempol belaka. Nyatanya, sistem tersebut kerap kali malah menyimpang dari nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, juga budaya bangsa Indonesia.

Sistem selanjutnya yakni Demokrasi Pancasila pada Era Orde Baru di tahun 1966 hingga 1998. Gotong royong dan rasa kekeluargaan menjadi pangkal dari sistem ini.

Demokrasi Pancasila timbul dari berbagai bentuk permasalahan yang dialami oleh bangsa Indonesia selama diberlakukannya demokrasi parlementer dan demokrasi terpimpin.

Pokok terpenting yang ada dalam Demokrasi Pancasila adalah nilai-nilai yang menjunjung tinggi kemanusiaan sesuai martabat dan harkat manusia. Menjamin persatuan bangsa, rasa tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai kepercayaan masing-masing, mengutamakan musyawarah, serta mewujudkan keadilan sosial.

Meskipun terdengar sangat indah, sayangnya di dalam prakteknya demokrasi Pancasila pada masa orde baru ini sering kali menyimpang dari prinsip Demokrasi Pancasila itu sendiri. Beberapa pelanggaran demokrasi yang terjadi pada masa orde baru.

Selanjutnya rentan waktu 1998 hingga sekarang, dianut sistem Demokrasi Pancasila Era Reformasi. Perbedaan antara demokrasi pancasila pada era reformasi dengan era orde baru terletak pada tata cara dan aturan pelaksanaannya.

Kebanyakan perubahan terletak pada perbaikan kebijakan-kebijakan yang kurang sejalan dengan konsep demokrasi. Beberapa hasil perubahan tersebut antara lain, pemilu yang benar-benar demokratis. Tercapainya kehidupan yang lebih demokratis.

Kemudian lembaga demokrasi berfungsi dengan baik. Setiap partai politik dapat mandiri dan tidak berat sebelah. Memandang demokrasi Pancasila sebagai nilai-nilai budaya politik yang mempengaruhi sikap hidup politik pendukungnya.

Kembali ke Fitrah

Kendati demikian, praktik sistem demokrasi Indonesia saat ini tentu masih dihampiri kekurangan sana sini. Pelbagai celah terus dicari pihak yang ingin berkuasa. Rakyat belum sepenuhnya dijadikan penentu utama setiap kebijakan, sesuai fitrah demokrasi.

Sesuai data The Economist Intelligence Unit Limited (2020) indeks demokrasi Indonesia menurun sejak tahun 2015 dibandingkan negara Asia Tenggara lainnya seperti Timor Leste, Malaysia, dan Filipina. Demokrasi Indonesia masih kategori sedang, belum bisa disebut baik.

Segala kondisi ini tentu tak boleh dijadikan faktor yang menurunkan semangat. Sebaliknya tempatkan sebagai pelecut semangat.

Demokrasi memang tidak semudah membalikkan telapak tangan untuk membangunnya. Perlu komitman bersama. Butuh sinergitas pemerintah, rakyat, partai politik, dan seluruh stakeholder.

Sistem pemilu serentak yang sedang di depan mata mestinya jadi momentum untuk makin mematangkan sistem demokrasi Indonesia. Asas Luber Jurdil (Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil) wajib dikedepankan. Jangan bermain mata, apalagi main di bawah meja. Rakyat dan bangsa Indonesia yang kita cintai taruhannya. (**)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan