Oleh: Sitti Maryam MY Mahmud
(Pegiat Literasi dan Pembelajar Parenting Islami)
Belakangan ini childfree menjadi topik yang viral di media sosial dan masyarakat. Topik ini hangat diperbincangkan karena menjadi isu sosial yang kompleks dan kontroversial. Dikutip dari Oxford Dictionary bahwa childfree didefinisikan sebagai kondisi tidak memiliki anak. Dapat digambarkan sebagai orang-orang yang memilih untuk tidak memiliki anak secara sengaja.
Konsep childfree atau memilih untuk tidak memiliki anak bukanlah sesuatu yang baru dalam sejarah manusia. Beberapa kelompok manusia, seperti para biksu dan biarawati dalam agama-agama tertentu, telah memilih untuk hidup tanpa memiliki keturunan untuk fokus pada pengabdian mereka kepada keagamaan dan masyarakat.
Dalam pandangan masyarakat tradisional, memiliki anak dianggap sebagai bagian penting dari tujuan hidup. Dalam sejarah Barat, keluarga besar dan keturunan dipandang sebagai simbol keberhasilan dan kebahagiaan. Oleh karena itu, tidak memiliki anak sering kali dianggap sebagai tanda kegagalan dalam hidup.
Namun, seiring berkembangnya feminisme dan perubahan pandangan sosial pada abad ke-20, pandangan tersebut mulai bergeser. Semakin banyak orang mulai melirik pilihan untuk tidak memiliki anak sebagai hal yang sah dan bisa diterima. Pada tahun 2021 lalu, Guru Besar Sosiologi Universitas Airlangga, Bagong Suryanto memberi penjelasan bahwa dewasa ini, eksistensi dan kesuksesan perempuan tidak lagi diukur dari ranah domestik mengenai kemampuannya untuk melahirkan banyak anak, melainkan dari sektor publik seperti karier, prestasi, dan indikator lain yang mengikuti perkembangan zaman.
Pada saat yang sama, perubahan dalam teknologi reproduksi seperti kontrasepsi, fertilisasi in vitro, dan inseminasi buatan juga memberikan lebih banyak pilihan bagi pasangan untuk mengendalikan kehamilan dan memutuskan untuk memiliki anak atau tidak.
Hari ini, childfree menjadi pilihan yang semakin umum di masyarakat modern. Banyak orang menganggap bahwa mereka tidak perlu memiliki anak untuk merasa berhasil dan bahagia dalam hidup mereka, dan pandangan ini semakin diterima dalam masyarakat.
Childfree dianggap wajar karena merupakan hak pribadi dan mereka bebas memilih jalan itu tentu berdasarkan beberapa alasan dan pertimbangan. Seperti Karir dan Kemandirian. Mereka mungkin ingin mencapai prestasi di bidang pekerjaan, pendidikan, atau kegiatan sosial tanpa harus mengorbankan waktu dan energi yang diperlukan untuk merawat anak. Selain itu juga ingin memiliki kebebasan finansial, kebebasan waktu, lingkungan dan kesehatan.
Anya Dwinov, memiliki alasan sendiri mengapa dirinya tidak ingin memiliki anak. Melalui obrolannya di kanal youtube Dapur Bincang Online, Anya mengatakan secara tersirat bahwa dia tidak ingin menambah populasi bumi dengan cara melahirkan seorang bayi. Sementara Cinta Laura, seorang influencer melalui podcast bersama Ashanty, menyatakan bahwa dia lebih memilih untuk belum memiliki anak karena terlalu banyaknya anak-anak di Indonesia ini yang hidupnya terlantar. "Banyak anak-anak di luar sana yang terlantar, aku harus menolong mereka. Aku tahu argumentasi orang kayak 'nanti kamu gak sesayang sama anak kandung kamu sendiri gitu, jadi tidak apa untuk adopsi," tutur influencer pemerhati sosial ini.
Beberapa orang mungkin memilih untuk hidup "childfree" karena mereka khawatir dengan kondisi lingkungan yang semakin memburuk atau mempertimbangkan dampak dari meningkatnya populasi manusia terhadap lingkungan.
Tujuan Hidup
Tujuan hidup seseorang boleh jadi berbeda-beda. Ada yang memiliki tujuan hidup untuk mencapai kesuksesan materi seperti meraih kekayaan, status sosial, atau kesuksesan karir. Selain itu mungkin ada juga mengutamakan kebahagiaan bersama keluarga, mencari ketenangan dengan melakukan pekerjaan sosial, lingkungan, atau melakukan kegiatan positif lainnya.
Sepintas childfree memang terdengar baik dan bukan keputusan egois. “penganut” Childfree sendiri kadang menimpali bahwa manusia justru terbilang egois jika membiarkan populasi manusia yang semakin banyak itu terlantar begitu saja. Atau semakin banyak manusia semakin banyak memproduksi sampah, dan lain sebagainya.
Sebagian orang secara diam-diam sepakat dengan anggapan paham childfree itu. Namun, sebenarnya perlu juga diperhatikan tentang dampak apa yang mungkin ditimbulkannya ke depan. Dalam hal ini memilih mengurangi populasi manusia, childfree bukanlah jalan terbaik. Karena bagaimanapun manusia butuh penerus untuk melanjutkan peradaban manusia. Dampak childfree sudah dialami oleh negara-negara seperti Jepang yang kini terancam “punah” akibat penurunan angka kelahiran yang cukup drastis sehingga menimbulkan kekhawatiran soal populasi penduduknya di masa yang akan datang.
Childfree Menurut Islam
Salah satu maksud atau tujuan dari kehadiran Islam di muka bumi adalah untuk menjaga keturunan. Rasulullah saw. bersabda, “Nikahlah kalian, supaya kalian bertambah banyak keturunannya" (HR. Muslim)”. Sementara dalam Q.S. an-Nahl ayat 72 dijelaskan, “Dan Allah menjadikan bagimu pasangan (suami atau istri) dari jenis kamu sendiri dan menjadikan anak dan cucu bagimu dari pasanganmu, serta memberimu rezeki dari yang baik”.
Dalil ini menggambarkan tentang cara Islam menjaga keturunan: Mengizinkan manusia untuk berkasih-sayang lewat jalan pernikahan supaya manusia terhindar dari perilaku seks bebas ataupun hubungan sesama jenis yang selama ini menjadi penyebab munculnya berbagai macam penyakit menular. Sementara Childfree adalah sebaliknya sebab memungkinkan terbukanya “celah baru” bagi munculnya permasalahan lain yang tidak kita inginkan.
Dengan pernikahan itu, Islam telah menyelamatkan peradaban manusia dari kepunahan, membenarkan manusia sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan, menjaga kesuciannya dan tetap dalam bingkai ibadah, tanpa mengikis sedikitpun sisi kemanusiaan dari manusia itu sendiri.
Pada akhirnya kita tidak perlu membayangkan pertanyaan: Bagaimana seandainya manusia (pasangan pertama di muka bumi ini) mengganggap childfree sebagai sesuatu yang lumrah, kemudian mengadopsinya? tentu tidak ada kemungkinan lain selain bahwa “Kita semua tidak akan pernah ada”. (*)