Oleh: Yanuardi Syukur
Satu kata yang rasanya tepat dialamatkan kepada Kiai Ali Yafie adalah ulama multitalenta. Walaupun dikenal juga sebagai profesor, politikus, hakim, birokrat, dosen, guru, dan lain sebagainya, tapi kata 'ulama multitalenta' rasanya pas untuk beliau.
Sejak mudanya beliau dikenal sebagai guru, tepatnya guru agama. Mengajar di kampus juga kampus agama, bahkan pernah menjadi dekan. Aktivitasnya di NU dan MUI menunjukkan bagaimana semangatnya yang tinggi dalam ranah keulamaan di tanah air.
Nama lengkapnya dengan gelar ditulis Prof. AG. H. Muhammad Ali Yafie. Anre Gurutta adalah gelar Bugis untuk ulama, seperti tokoh lainnya: AG. Ambo Dalle, dst-nya. Nama 'Ali' di bagian berarti tinggi, adalah doa dari orang tuanya agar kelak ia menjadi orang yang tinggi, budi, akhlak, dan manfaat.
Usianya cukup panjang untuk ukuran manusia sekarang. Lahirnya 1 September 1926, wafatnya 25 Februari 2023. Jika berkunjung ke kantor MUI di Jl. Proklamasi, fotonya terpajang bersama ketum-ketum lainnya, baik di lobby maupun di lantai 4 Aula Buya Hamka.
Beliau menjadi Ketum MUI selama dua tahun, 1998-2000. Periodenya termasuk singkat. Sebelumnya, beliau adalah Rais 'Aam PBNU periode 1991-1992. NU merupakan organisasi Islam paling besar di Indonesia dengan kontribusi yang massif. Bersama Muhammadiyah, kedua organisasi tersebut paling banyak memberikan pengaruh kepada Indonesia, tentu tanpa menafikan pengaruh ormas Islam lainnya.
Kiai Ali Yafie tidak lupa dengan latarnya sebagai orang Sulawesi. Walau sukses di ibukota, tidak buat ia lupa dengan pulau dimana dia dibesarkan. Beliau lahir di Desa Wani, Kecamatan Labuan, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. Hingga wafatnya, beliau tetap jadi pengasuh pengasuh Pondok Pesantren Darud Da'wah wal Irsyad, Pare-Pare, Sulawesi Selatan yang didirikannya pada 1947.
Tidak lupa kampung halaman adalah karakter baik dari ulama kharismatik. Kiai Nasaruddin Umar yang kini jadi Imam Masjid Istiqlal dan profesor juga mengasuh pesantren di Sulsel. Masyhur di Jakarta tidak membuatnya lupa untuk mengembangkan pesantren di kampungnya. Ada semacam tanggungjawab moral untuk itu.
Pak Din Syamsuddin, selain dikenal sebagai profesor dan tokoh hebat juga mendirikan pesantren internasional di kampungnya di NTB. Bisa dikatakan, beliau adalah salah seorang 'duta besar' Islam Indonesia di pentas global. Selain datang hadir di event luar negeri, ia juga secara berkala mendatangkan tokoh, ulama, dan pakar luar negeri untuk hadir ke Indonesia.
Orang-orang seperti Kiai Ali Yafie, Profesor Nasaruddin Umar, atau Profesor Din Syamsuddin adalah cerita inspiratif bagi kita yang masih muda. Bahwa tidak lengkap rasanya jika tidak membangun kampung halaman kita masing-masing.
Kiai Ma'ruf Amin juga membangun kampungnya. Sekolah dan perguruan tinggi. Selain itu, ia juga berkontribusi pada ranah lebih luas, khususnya pada pengembangan ekonomi syariah. Tidak bisa dimungkiri bahwa perkembangan ekonomi syariah di negeri kita di belakangnya ada sosok Kiai Ma'ruf. Beliau tetap membangun sekolah di kampungnya.
Jadi, berkaca pada ulama-ulama di atas, rupanya 'tidak lupa kampung' adalah bagian penting dari makna hidup seorang kiai. Bahkan, jika ditarik agak jauh, Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi yang jadi guru masyhur di Mekkah juga tidak lupa pada kampungnya. Ia secara mengajar, dan juga menulis risalah yang diantaranya ditujukan untuk merespon dinamika keislaman di Sumatera Barat.
Kembali pada sosok Kiai Ali Yafie, kita yang masih muda dan masih hidup, ada baiknya untuk belajar dari beliau. Usianya panjang dan manfaatnya luas. Saat beliau sakit beliau masih mau menerima tamu bahkan memberikan nasihat dan pendapat kepada mereka yang hadir. Hal itu bisa kita ketahui dari mereka yang sempat hadir mengunjungi beliau.
Dikenal sebagai pribadi yang lembut sekaligus tegas. Kelembutan dan ketegasan adalah bagian inheren dalam diri ulama multitalenta tersebut. Tentu kita tidak dapat belajar bagaimana menjadi yang terbaik dalam versi kita masing-masing, dalam ranah kita masing-masing. Belajar dari ulama adalah bagian penting dari proses kita menjadi pribadi bermanfaat.
Beliau juga menulis buku. Setelah beliau tiada, bukunya akan jadi amal jariyah untuknya. Orang baca dan mendapatkan manfaat dari buku tersebut. Diantaranya berjudul "Merintis Fiqh Lingkungan Hidup" (2006), "Etika dan Moral Kepemimpinan" (2003), dan "Teologi Sosial" (1997).
Mari kita doakan semoga Kiai Ali Yafie mendapatkan tempat terbaik dalam surga-Nya, dan kita semua mengambil inspirasi dan teladan dari sosok ulama multitalenta tersebut. (*)
Depok, 26 Februari 2023