MK Tolak Gugatan Perpanjangan Masa Jabatan Presiden, Pengamat: Syahwat Politik Kekuasaan Perlu Ditahan

  • Bagikan
Gedung Mahkamah Konstitusi (int)

FAJAR.CO.ID, MAKASSAR — Gugatan masa jabatan presiden terkait Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) terhadap UUD 1945 resmi ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Menanggapi hal ini, Direktur Lembaga Kajian Isu-isu Strategis (LKIS) Syaifuddin menyebutkan bahwa keputusan MK sudah tepat sesui dengan aspirasi rakyat di berbagai daerah.

"Saya kira putusan MK sudah tepat. Dalam konstitusi kita jelas tentang masa jabatan presiden bgtu pula di undang-undang pemilu," katanya, Rabu (1/3/2023).

Menurut penulis buku tetang demokrasi itu, Reformasi 98 setidaknya menjadi kerangka acuan bagi keberlangsungan demokrasi yang baik dan elegant di bangsa ini.

"Tidak patut kiranya ada kelompok atau individu yang menyuarakan masa jabatan presiden itu ditambah," tuturnya.

Lanjut dia, motifnya ini sangat politis, dan sangat mencederai semangat dan cita-cita reformasi. Dan yang lebih parah ini akan menjafi bagian dari pelanggaran konstitusional

Disebutkan, pelanggaran konstitusional sesungguhnya adalah perilaku jahat dari rezim. Sekiranya acvidenty dalam perspectif hukum itu perlu ditegakkan.

"Sebab, kalau hukum bagi kekuasaan sudah dilanggar itu berarti kita tidak lagi berada di negara demokrasi tetapi kita mundur jauh ke belakang menjadi negara barbarisme," jelasnya.

Dia berpandangan bahwa semua keputusan akan berdampak pada ruang publik. Perpanjangan masa jabatan presiden menjadi arena sentimen publik dengan berkaca pada indeks demokrasi kita yang semakin menurun akibat beberapa kasus.

Termasuk kecurangan pemilu, insiden penegak hukum, korupsi dll. Dengan kondisi demikian, publik semakin jengah dan apatis terhadap kekuasaan.

"Sehingga perlu syahwat politik kekuasaan itu ditahan demi ketenteraman publik," pungkasnya.

Sebelumnya, MK menilai permohonan ini tidak jauh berbeda dengan Putusan MK Nomor 117/PUU-XX/2022. MK menyatakan tidak atau belum memiliki alasan yang kuat untuk mengubah pendiriannya.

Oleh karena itu, pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 117/PUU-XX/2022 mutatis mutandis berlaku menjadi pertimbangan hukum dalam putusan a quo.

"Artinya, norma Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017 adalah konstitusional," ujar hakim Anwar.

UU yang Digugat Belum Berlaku
Untuk diketahui, pemohon Herifuddin Daulay merasa telah dirugikan hak konstitusionalnya akibat berlakunya norma Pasal 7 UUD 1945.

Mengenai adanya pembatasan pribadi jabatan Presiden hanya boleh mendaftar dan atau terpilih untuk 2 (dua) kali masa jabatan.

Kerugian tersebut berdasarkan anggapan Pemohon bahwa orang yang kompeten untuk jabatan Presiden hanya sedikit.

"Sehingga pembatasan tersebut akan mengakibatkan pemimpin yang terpilih adalah orang yang tidak berkompeten," dikutip dari laman MK.

MK memutuskan menolak permohonan UU Pemilu yang diajukan oleh Herifuddin Daulay yang perkaranya teregister dalam Nomor 4/PUU-XXI/2023.

"Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata ketua majelis hakim, Anwar Usman, saat membacakan amar putusan di MK. (selfi/fajar)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan