FAJAR.CO.ID, MAKASSAR -- Sorotan belum usai. Pamer harta oknum pejabat dan pegawai Kemenkeu terus didalami.
KPK bahkan memanggil untuk klarifikasi sejumlah pejabat Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Selasa, 14 Maret. Termasuk meminta klarifikasi Kepala Bea Cukai Makassar Andhi Pramono.
Fenomena gaya hidup keluarga atau oknum pegawai Kemenkeu, terutama dari Direktorat Pajak Bea Cukai, menjadi perhatian publik lantaran memamerkan gaya hidup hedonisme.
Fenomena hidup glamor ini sebenarnya bisa menjadi sebuah kecenderungan pintu masuk.
Gaya hidup hedonisme dari para pejabat ini bisa mengindikasikan awal ada yang salah dalam keuangan para pejabat tersebut.
Fenomena ini umumnya banyak terjadi kepada orang-orang kaya baru, atau orang yang baru saja memperoleh uang dalam jumlah yang besar.
"Yang tiba-tiba itu, kan, yang biasanya ingin menunjukkan bahwa 'inilah saya'. Itu selalu berbanding lurus dengan pola hidup yang ingin menunjukkan," kata Prof Arfin Hamid, Guru Besar Ilmu Sosiologi Hukum, Universitas Hasanuddin (Unhas), malam tadi.
Ini jelas akan tampak berbeda dengan orang-orang kaya lama yang kecenderungannya akan lebih kasual, dan bahkan bisa tidak memamerkan kekayaannya sama sekali.
"Inilah sangat perlu diteliti. Sangat perlu untuk dilihat apakah benar kekayaannya itu (bersih)," sambungnya.
Apalagi, jika melihat jejak pola hidup mereka yang terkesan tiba-tiba, maka hal ini patut menjadi kecurigaan. Ini bisa saja menjadi salah satu indikasi adanya kesalahan.
Seyogianya, pejabat ini apalagi Aparatur Sipil Negara (ASN) haruslah menjadi teladan, sebab mata publik banyak tertuju kepada mereka. Apalagi, faktanya mereka difasilitasi penuh oleh negara.
Wajar kecenderungan sorotan masyarakat itu akan lebih besar, sebab merasa pejabat tersebut seharusnya bisa lebih merakyat dan memberikan pelayanan yang baik. Sikap pejabat bersama keluarga mestinya sadar untuk tidak menampilkan gaya hidup yang glamor, kendati faktanya memiliki harta berlimpah.
Apalagi, dengan kekayaan yang tidak wajar. "Ketika dia menjadi pejabat, secara sosiologis mereka menyesuaikan gaya hidup (seharusnya) tidak boleh menonjolkan, meskipun dia punya," sambung Arfin Hamid.
Dalam agama, hidup sederhana dan bersahaja adalah sesuatu yang dianjurkan. "Yang terpenting lagi tidak mengambil sesuatu yang besar, atau tidak proporsional," imbuh dosen yang juga Guru Besar Hukum Islam Unhas ini
Perlu Diselisik
Pendapat berbeda diutarakan Pengamat Hukum, Universitas Hasanuddin, Dr Ivan Parawansa. Adanya kecenderungan hidup glamor oleh pejabat ini mesti diselisik lebih jauh. Sudah benar KPK juga masuk.
Jangan sampai pejabat bersangkutan memang sudah benar kaya sedari lahir. "Jadi tergantung dari orangnya juga. Kita tidak tahu," katanya.
Bisa saja uang-uang besar itu berasal dari warisan, kemungkinan lainnya untuk meninjau uang yang masuk dari usaha dianggap butuh pendalaman lebih jauh, mengingat PNS umumnya tidak boleh memiliki perusahaan. Makanya butuh pendalaman lebih jauh terhadap anggaran-anggaran yang masuk ini.
"Jadi kalau sudah ada pejabat yang sudah menampilkan gaya hidup glamornya itu, mungkin PPATK sudah bisa turun, untuk mengidentifikasi, apakah dengan gaya hidup glamor itu dari hasil kejahatan atau pendapatan lainnya," sambungnya.
Dia juga menggarisbawahi, hal ini juga bisa menjadi salah satu indikasi ada yang salah dengan pejabat terkait.
"Bisa jadi mengarah ke sana, ke tindak pidana, apalagi bea cukai, kan, lahan basah. Semua pajak barang, dia bisa datangkan dari luar, harus lewat dia, jadi harus diidentifikasi lebih dahulu," ujar doktor alumni Universitas Erlangga Surabaya ini.
Apalagi jika sudah ada kecurigaan dari PPATK. Memang mesti diselidiki.
"Jadi sisa menunggu laporan hasil investigasi, kan. Tunggu saja dulu, apakah benar, jangan sampai kita men-judge duluan, nanti malah jadi fitnah. Biarkan dulu PPATK bekerja mengindetifikasi dari mana sumber kekayaan itu," jelasnya. (an/jpg/zuk/fajar)