Polemik Kata ‘Maneh’ Berujung Pemecatan Guru, Akademisi dan Budayawan Sunda: Sikap Ridwan Kamil Tidak Proporsional

  • Bagikan
Ridwan Kamil

FAJAR.CO.ID, JABAR -- Hawe Setiawan, akademisi dan budayawan Sunda dari Universitas Pasdan (Unpas) Bandung, menyayangkan sikap pejabat daerah dan yayasan sekolah yang mempersoalkan penggunaan bahasa daerah dalam menyampaikan kritik.

Hal ini menanggapi polemik seputar penggunaan kata 'maneh' oleh Muhammad Sabir (34), seorang guru SMK di Cirebon, yang dipecat karena memposting komentar di media sosial Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil.

Kata Hawe, jangan sampai hanya karena penggunaan kata ‘maneh’ maka bisa menghilangkan rezeki seseorang.

“Untuk sekolah yang pecat guru sebaiknya dipikir lagi, jangan sampai timbul perasaan. Jangan sampai seorang guru kehilangan pekerjaan karena dia pakai bahasa Sunda di ruang publik, bahaya. Bukankah bahasa indung harus dipakai,” kata Hawe kepada JPNN.com di Bandung, Jumat (17/3).

Di sisi lain, Hawe percaya bahwa penggunaan kata 'maneh' tidak selalu berarti tidak sopan. Kata ini biasa digunakan di daerah-daerah tertentu di Jawa Barat.

“Bahasa itu akan berkembang oleh masyarakat, tidak bisa diatur satu kekuatan atau pihak tertentu. Kata aing kan kasar, tetapi bisa populer dan tanpa harus dirasakan kasar, juga tergantung wilayah mana Sundanya,” jelasnya.

“Di Priangan memang dianggap kasar, tetapi di luar ortodoks Priangan, seperti Kuningan, Cirebon, Subang, Banten itu beda dialeknya,” sambungnya.

Ia menjelaskan bahwa perbedaan antara bahasa undak usuh, lemes dan bahasa Sunda halus merupakan hasil dari masuknya budaya Jawa.

Oleh karena itu, menurutnya, tidak perlu memperpanjang kontroversi seputar penggunaan kata 'maneh', apalagi sampai memecat seseorang.

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan