FAJAR.CO.ID, JAKARTA – M Guntur Hamzah, Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) sekaligus Sekretaris Jenderal (Sekjen) MK terbukti melakukan pelanggaran kode etik.
Selain itu, Guntur Hamzah juga divonis melanggar azas integritas.
Keputusan itu dihasilkan oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) pada, Senin (20/3/2023).
Dalam putusannya, MKK menyatakan Guntur Hamzah terbukti ikut mengubah substansi putusan perkara nomor: 103/PUU-XX/2022.
Ketua Komite Pemantau Legislatif (KOPEL) Indonesia, Herman, putusan MKK itu otomatis menunjukkan Guntur Hamzah melakukan pelanggaran fatal.
“Karena Guntur Hamzah telah mengubah, bukan saja kata dari putusan MK, namun menyebabkan adanya perubahan substansial atas putusan MK,” ujar Herman dalam keterangannya yang diterima pojoksatu.id, Selasa (21/3/2023).
Karena itu, ia menyatakan bahwa apa yang dilakukan Guntur Hamzah itu bisa dikategorikan sebagai kejahatan konstitusi.
Menurut Herman, sebagai sosok yang sekian tahun menjabat Sekjen MK dan Hakim MK, tentunya Guntur Hamzah paham betul makna setiap putusan MK.
Karena itu, kuat dugaan bahwa apa yang dilakukan salah satu Hakim MK itu adalah sebuah kesengajaan.
“Bahkan patut diyakini adanya maksud tertentu yang mengandung unsur kejahatan,” tegasnya.
Kuatnya adanya dugaan kesengajaan itulah yang menurut Herman harusnya ada sanksi berat yang diterima Guntur Hamzah.
“Sanksi yang diberikan MKMK dengan teguran tertulis adalah sanksi ringan yang tidak sepadan dengan pelanggaran yang dilakukannya,” ujarnya.
Merendahkan marwah MK
Selain pelanggaran mengubah putusan, Herman menyebut Guntur juga telah merendahkan, mencoreng dan mempermainkan marwah MK secara kelembagaan.
“Ini bisa berakibat pada menurunnya kepercayaan terhadap lembaga ini (MK),” terang dia.
Menurutnya, MKK seharusnya memberikan sanksi setimpal, yakni memecat Guntur Hamzah sebagai Hakim MK.
“Bahkan seharusnya pada yang bersangkutan dinyatakan telah ada kecacatan moral,” tegasnya.
Atas sanksi tersebut, KOPEL Indonesia menilai keputusan MKMK ini tidak menunjukkan adanya penegakan kode etik yang dapat mencegah terjadinya perilaku yang serupa pada Hakim MK.
“Malah sanksi tersebut berpotensi memunculkan upaya-upaya yang serupa dimana putusan MK dapat diubah sendiri oleh Hakim atau pihak lain di MK,” tandasnya. (pojoksatu/fajar)