FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Cipta Kerja menjadi UU dalam rapat paripurna, pada Selasa,(21/3) menuai kritik masyarakat.
Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul M. Jamiluddin Ritonga menilai, wajar masyarakat menolak pengesahan Perppu Cipta Kerja menjadi UU.
“Karena Perppu itu sejak awal memang sudah bermasalah. Sebab, Pemerintah dinilai belum melaksanakan Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), namun tiba-tiba menyerahkan Perppu Ciptaker kepada DPR,” kata Jamiluddin kepada wartawan, Kamis (23/3).
Menurut Jamiluddin, proses pengesahan Perppu Cipta Kerja menjadi undang-undang, mengesankan tidak adanya musyawarah mufakat dalam pembahasan di setiap fraksi.
“Yang tidak setuju diabaikan dan ditinggalkan begitu saja. Siapa yang kuat, dia yang menang. Prinsip itu tampaknya yang berlaku dalam pembahasan Perppu Ciptaker,” sesalnya.
Dengan demikian, semua hal itu mengesankan DPR sudah berubah menjadi lembaga stempel pemerintah. Sebab, semua produk RUU dan Perppu yang diinginkan pemerintah disahkan dengan mulus oleh DPR.
“DPR sudah seperti di zaman Orde Baru (orba). DPR menjadi lembaga stempel yang mengaminkan kehendak eksekutif, khususnya presiden. DPR tentu tidak boleh menjadi lembaga stempel lagi. Sebab, hal itu sudah mengingkari amanah reformasi,” ucap Jamiluddin.
Oleh karena itu, Jamiluddin pun mengajak masyarakat untuk bersikap kepada partai-partai yang mendukung Perppu Ciptaker menjadi UU. Sikap itu seyogyanya dengan memberi sanksi kepada partai pendukung Perppu Ciptaker pada Pileg 2024.
Hal itu perlu dilakukan, agar partai politik dan anggota DPR tidak semena-mena mengabaikan aspirasi rakyat. Mereka juga tidak boleh terus berada di parlemen, karena akan melanggengkan DPR sebagai lembaga stempel.