Oleh: Muhammad Fadli Noor
(Pemerhati Sosial dan Politik)
Menarik mencermati dinamika perhelatan Piala Dunia U-20 2023 yang sebelumnya telah menunjuk Indonesia sebagai tuan rumah namun dibatalkan oleh FIFA melalui rilis resminya di laman www.fifa.com pada Rabu (29/03/2023).
FIFA tidak menyebut alasan pencopotan tersebut, namun dengan tegas menyebutkan bahwa keputusan tersebut diambil dengan mempertimbangkan kondisi terkini. "FIFA has decided, due to the current circumstances, to remove Indonesia as the host of the FIFA U-20 World Cup 2023" demikian bunyi penggalan rilis FIFA tersebut.
Meskipun ada berbagai pihak yang melakukan penolakan, namun ini menjadi pangkal masalah ketika Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah turut melakukan penolakan disusul I Wayan Koster, Gubernur Bali yang menolak secara resmi melalui surat bernomor T.00.426/11470/SEKRET yang ditujukan kepada Menpora.
Penolakan Gubernur Jawa Tengah dan Gubernur Bali telah merobohkan konstruksi legal standing Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 2023 sehingga hak penyelenggaraan harus dicabut oleh FIFA.
FIFA memulai proses bidding untuk menjadi tuan rumah FIFA U-20 World Cup 2023 melalui surat edaran FIFA No. 1665 tanggal 23 April 2019 yang melampirkan seluruh ketentuan yang harus dipenuhi oleh calon tuan rumah.
Di antara ketentuan tersebut adalah pemerintah wilayah yang menyediakan venue pertandingan wajib menandatangani Government Declaration dan Government Guarantees sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari penawaran. Dalam dokumen bidding tersebut Indonesia mengajukan DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali dan Sumatera Selatan sebagai lokasi pertandingan. Setelah melalu berbagai kajian dan evaluasi oleh FIFA.
Dengan demikian, penolakan Ganjar dan Koster sama saja dengan penyangkalan terhadap Government Declaration dan Government Guarantees yang wajib menyertai dokumen persyaratan. Penolakan tersebut menjadikan persyaratan tidak terpenuhi sehingga wajar jika kemudian FIFA membatalkan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 2023.
PDIP dan Kognisi Sosial
Presiden Jokowi menyebut bahwa dalam urusan Piala Dunia U-20 ini kita sependapat dengan Duta Besar Palestina untuk Indonesia bahwa FIFA memiliki aturan yang harus ditaati anggotanya sehingga jangan mencampuradukan urusan olahraga dan urusan politik. Presiden juga menjamin bahwa keikutsertaan Israel dalam ajang Piala Dunia U-20 tidak ada kaitannya dengan konsistensi posisi politik luar negeri Indonesia terhadap Palestina.
Nampak jelas pada konferensi pers tersebut bahwa Presiden Jokowi tidak mempersoalkan keikutsertaan Israel dalam Piala Dunia U-20 di Indonesia.
Selain itu ada Instruksi Presiden No. 8/2020 tentang Dukungan Penyelenggaraan FIFA World Cup U-20 yang dengan tegas memerintahkan Gubernur Jawa Tengah dan Gubernur Bali melakukan koordinasi dan memberikan dukungan teknis demi kelancaran penyelenggaraan. Dengan demikian penolakan oleh kedua gubernur tersebut dapat digolongkan insubordinasi - melawan instruksi pimpinan.
Namun sebagian publik meyakini bahwa perlawanan kedua 'anak buah' presiden tersebut dapat diselesaikan secara adat dalam payung partai yang sama. Ini memunculkan persepsi yang menganggap penolakan tersebut adalah bagian dari agenda partai yang bersangkutan.
Jika benar penolakan tersebut adalah agenda partai dengan harapan jika Israel dicekal untuk berlaga di Piala Dunia U-20 2023, akan dapat diklaim sebagai pencapaian kader-kader partai tersebut maka hal ni dapat dipandang bahwa PDIP sedang memainkan instrumen kognisi sosial dalam melebarkan potensi pemilih mereka.
Albert Bandura dengan teori pembelajaran sosialnya berpendapat bahwa pengetahuan individu dapat berlangsung dengan cara mengamati orang lain dalam konteks interaksi sosial, pengalaman serta pengaruh media luar lainnya. Masyarakat luas yang menyerap informasi dengan pembelajaran sosial ini akhirnya membentuk kognisi sosial dan melakukan kategorisasi nilai dan atribut pada isu yang ada.
Kognisi sosial dalam konteks penolakan Israel oleh dua gubernur kader PDIP dapat menghasilkan kategorisasi bahwa PDIP menolak Israel sementara yang lainnya tidak menolak.
Kategorisasi yang dihasilkan dari kognisi sosial sebagai "partai yang menolak Israel" tersebut akan berujung pada penerapan identitas sosial oleh individu-individu dalam masyarakat.
Dalam teori Identitas Sosial disebutkan bahwa individu cenderung mengidentifikasi diri mereka dengan kelompok tertentu dan mencari afiliasi dengan kelompok tersebut.
Berdasarkan teori tersebut maka sangat memungkinkan kelompok-kelompok konservatif agama yang selama ini sangat membenci Israel akan merasa satu kubu dengan PDIP. Potensi ini dapat dikelola untuk melebarkan basis elektoral partai tersebut, meski kemudian terjadi polarisasi akibat realita yang terjadi malah Indonesia yang digugurkan sebagai tuan rumah. Bola memang bundar, segala kemungkinan bisa terjadi. (*)