Andi Amran Sulaiman: Racun Tikus Membawa Nikmat

  • Bagikan
Andi Amran Sulaiman

FAJAR.CO.ID, MAKASSAR -- Menjadi sukses, menjadi kaya, baginya semudah membalikkan telapak tangan. Sejak dilahirkan di Bone 27 April 1968, ia telah merasakan pahitnya hidup miskin hingga berusia 36 tahun.

Dalam proses panjang berupaya keluar dari keterpurukan ekonomi, Andi Amran Sulaiman bekerja super keras 7x24 jam, pantang mengeluh saat berhadapan dengan tantangan, bersungguh-sungguh, memeras keringat dan air mata.

Ia adalah putra ketiga dari 12 bersaudara. Ayahnya adalah veteran tentara, Andi B. Sulaiman Dahlan Petta Linta.

Amran lahir dan menghabiskan masa kecilnya di sebuah desa di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan.

Sejak umur 9 tahun, Amran kecil sudah harus bekerja menjadi pemecah batu, penggali sumur, buruh tani, penjual ikan, penjual ubi, serta menggembala sapi demi untuk membayar iuran SPP sekolah.

"Waktu itu Gaji bapak saya seorang tentara hanya Rp 116 ribu perbulan untuk menghidupi 12 anak. Saya dulu miskin, jelek, sering dihina. Aku berangkat bukan dari nol tapi dari minus nol," ungkap Amran di AAS Building, belum lama ini.

Setamat SMA, Amran diterima di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar.

Namun melihat kondisi ekonomi keluarganya yang serba pas-pasan, Amran pun ragu melanjutkan pendidikan perguruan tinggi.

“Ibu saya bilang (pakai bahasa bugis) lanjut saja kuliah. Soal biaya jangan dipikirin, pasti dikasih jalan,” kata Amran.

Amran lalu tinggal di kos-kosan sekitar Unhas yang kondisinya jauh dari kata layak. Tidur dengan kasur berjamur, tidur dengan bakteri.

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan