Arlin
Penggiat Budaya.
FAJAR.CO.ID, MAKASSAR -- Dalam banyak hal, desa dan kota selalu memiliki perbedaan yang nyata. Hal tersebut terjadi dalam lingkup politik, ekonomi, sosial, pendidikan, hingga persoalan budaya. Jika dirunut menjadi lebih detail, kita bisa melihat pada perbedaan akses pengetahuan, informasi, ekonomi, hingga politik. Dalam lingkup yang lebih sederhana, pada umumnya, masyarakat desa mengalami “semacam jarak” -- jika dibandingkan dengan masyarakat kota -- pada aspek, berjejaring, mengorganisasi, penguasaan teknologi, serta perumusan konsep dalam hal ini berkaitan dengan pendidikan dan kebudayaan.
Sebagai sebuah payung program, Merdeka Belajar melihat desa sebagai bagian penting dalam pembangunan bangsa. Hal ini tentu patut untuk kita apresiasi. Di pendidikan dasar dan menengah misalnya, melalui Kurikulum Operasional Satuan Pendidikan (KOSP), sekolah diberi ruang untuk menyusun visi dan misi, serta capaian pembelajaran yang sesuai dengan lingkungan masyarakat tempat sekolah tersebut berada. Sekolah di desa, bisa mengaitkan pembelajaran dengan berbagai potensi yang ada di desa. Jika mayoritas penduduk di desa tersebut adalah petani, maka konten pembelajaran dikaitkan dengan pertanian. Hal ini dilakukan agar sekolah tidak menghasilkan peserta didik yang “asing” di tengah masyarakat.
Merujuk kepada hal lebih aplikatif, aspek yang mengintegrasikan lingkungan, masyarakat, dan sekolah yaitu Projek Penguatan Profil Pancasila. Siswa diberi keleluasaan untuk memilih projek yang erat kaitannya dengan lingkungan dan masyarakat. Sekolah bisa melibatkan organisasi, komunitas, pakar, hingga tokoh masyarakat. Pada aspek kebudayaan, pelaku dan penggiat kebudayaan juga bisa berkolaborasi dengan sekolah untuk pembelajaran berbasis budaya dan kearifan lokal.