FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Ma'mun Murod meminta umat Islam Indonesia saling menghargai terkait perbedaan cara menentukan waktu awal Ramadan, 1 Syawal atau 10 Dzulhijjah.
Bukan justru sebaliknya, saling menghujat, mencerca, dan merasa seolah hanya pendapatnya yang benar. Salah satunya imbauan lebaran harus ikuti putusan pemerintah.
"Jangan bodohi orang dengan mengatakan bahwa secara fiqh lebaran harus ikuti putusan Pemerintah. Itukan fiqh sesuai selera kelompok anda," tutur Ma'mun Murod dalam keterangannya di Twitter @mamunmurod_, dikutip pada Rabu (19/4/2023).
Sebaiknya kata dia, sebagai sesama muslim untuk saling menghargai pandangan fiqih masing-masing. Karena menurutnya ketika fiqih menjadi pijakan maka yang menonjol adalah sikap toleransi.
"Hargai dong kelompok lain yang ikuti pandangan fiqh lainnya. Ketika fiqh jadi pijakan, harusnya sikap keagamaan yang menonjol lebih luwes krn fiqh itu bersifat luwes," tegasnya.
Sebelumnya tokoh Nahdlatul Ulama (NU) Nadirsyah Hosen menjelaskan tentang hukum berpuasa Ramadan di saat umat Islam lainnya sudah melaksanakan Salat Idul Fitri.
"Yang dilarang itu puasa tgl 1 Syawal. Kalau yakin besok 1 Syawal ya anda haram berpuasa. Kalau yang lain yakin 1 Syawal lusa, ya berarti besok boleh puasa bagi mereka. Gimana caranya biar 1 Syawal gak berbeda? kaidah fikih: ikuti keputusan pemerintah, apapun ormas anda," terang Gus Nadir.
Lebih jauh ia menjelaskan dalam ilmu Fiqih lebaran itu ikut keputusan pemerintah. Secara aturan bermasyarakat, Pemerintah tidak boleh melarang umat Islam lain yang lebarannya berbeda.