Aksi KKB Papua Jadikan Warga Sipil Tameng Hidup Bisa Dikecam Masyarakat Internasional

  • Bagikan
Marinus Yaung (Gamel:Cepos)

FAJAR.CO.ID — Akademisi Universitas Cenderawasih, Marinus Yaung menilai Kelompok Separatis Teroris atau KST Papua yang juga dikenal sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata atau KKB telah menggunakan masyarakat sipil sebagai tameng hidup. Bukannya mendapatkan simpati atau empati, aksi KKB Papua malah mendapat kecaman dan penolakan masyarakat internasional.

Marianus Yaung berpendapat penyanderaan pilot Susi Air, Philip Mark Merthenz oleh kelompok Egianus Kogoya yang tergabung dalam KKB Papua dapat dikecam masyarakat internasional. 

KST atau KKB Papua, dalam pandangan dosen ini, harus memahami bahwa masyarakat internasional adalah masyarakat logis dan ilmiah. Komunitas yang paham dengan baik aturan main dalam konflik dan perang yang sudah diatur oleh hukum perang internasional.

Ulah bejat KKB Papua menjadikan masyarakat sipil atau pekerja kemanusian sebagai sandera atau alat propaganda dan alat politik para pihak yang berkonflik adalah pelanggaran serius terhadap hukum internasional konvensi Den Haag 1907 dan konvensi Jenewa 1949 dan Protokol tambahan keempatnya. “Ini ketentuan hukum internasional yang tidak bisa diabaikan atau tidak diindahkan,”  kata Yaung, Senin (24/4).

Menurut dosen Fisip Uncen ini,  yang perlu dicermati, KKB mengorbankan masyarakat sipil di Distrik Mugi, dan sebagian dari Distrik Paro termasuk dan kampung – kampung sekitarnya dimobilisasi untuk menyerang aparat keamanan TNI di Pos keamanan Distrik Mugi. Kurang lebih terdapat 36 anggota TNI dari kesatuan Kostrad dan Kopassus yang bertugas di pos tersebut.

“Saya melihat masyarakat sipil Nduga kini dijadikan tameng. Masyarakat sipil di Mugi, terutama perempuan dan anak – anak, dikerahkan dan bergerak dari berbagai sisi untuk menyerang aparat keamanan,” ungkap Dosen ini.

Aparat keamanan TNI tidak merespon situasi dilema seperti ini karena ada anak – anak dan perempuan. 

“Prinsip TNI To kill or to be killed  akhirnya menjadi ragu – ragu untuk ditegakkan. Kalau doktrin to kill or to be killed ditegakkan atau di kedepankan, maka yang terjadi adalah pembantaian,” tambahnya.

Ia khawatir politik mengedepankan masyarakat sipil untuk bertarung dengan aparat keamanan ini akan menjadi insiden berdarah di Mugi, Nduga. (fajar/jpc)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan