OLEH: SIRAJUDDIN
Jurnalis FAJAR, Ketua Jurnalis Peduli Sinjai (JPS)
Pemilihan Umum (Pemilu) Presiden dan Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) akan digelar pada tanggal 14 Februari 2024. Salah satu segmen pemilih dalam pesta demokrasi kali ini adalah generasi Z yang jumlahnya cukup besar. Kondisi ini bisa menjadi peluang bahkan tantangan dalam meningkatkan partisipasi pemilih.
Kapan Generasi Z atau Gen Z dimulai menjadi pertanyaan mendasar bagi kita semua. Namun, dilansir dari brain academy.id, Statistics Canada mengatakan tahun 1993, Pew Statistics mengatakan kalau Gen Z dimulai pada tahun 1997, sementara yayasan Resolution mengatakan dimulai tahun 2000.
Sedangkan Alexis Abramson, seorang ahli dalam pengelompokkan generasi mengungkapkan, “kapan pun itu benar-benar dimulai, kita dapat dengan aman mengatakan bahwa kelompok ini masih muda dan tidak pernah mengenal kehidupan tanpa teknologi.”
Berdasarkan Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020 menunjukkan Gen Z memiliki proporsi terbesar dalam jumlah penduduk Indonesia saat ini, yaitu sejumlah 27,94 persen atau 75,49 juta jiwa dari total penduduk 270,20 juta jiwa. Hal tersebut menjadi bonus demografi bagi Indonesia karena akan menjadi generasi emas tepat saat Indonesia genap berusia 100 tahun pada tahun 2045 yang mana 70 persen penduduk merupakan usia produktif.
Berdasarkan survei Litbang Kompas yang dilansir dari kpu.go.id menunjukkan tingginya antusiasme kaum milenial dan generasi Z untuk mengikuti Pemilu 2024. Sebanyak 86,7 persen menyatakan bersedia untuk berpartisipasi dalam pemilu.
Sementara 10,7 persen masih menimbang dan 2,6 persen lainnya menolak ikut pemilu. Kemudian, jumlah pemilih Gen Z untuk pemilu 2024 mencapai 49.295.631 jiwa atau 24,1 persen dari total pemilih berdasarkan sinkronisasi antara data pemilih berkelanjutan dengan DP4 per 11 Februari 2023 (sumber KPU RI)
Namun, syahwat politik Gen Z untuk terjun ke dunia politik masih kurang. Minat untuk terlibat aktif dalam pesta politik masih rendah. Hal ini terlihat saat Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2019, mereka justru menjadi kelompok yang paling banyak memilih untuk melakukan golongan putih (Golput).
Sejumlah faktor yang menjadi penyebab sehingga hal itu terjadi. Mulai dari pandangan Gen Z terhadap politik cenderung sebagai sarana yang negatif, berisi perebutan kekuasaan yang hanya mementingkan kepentingan pribadi dibandingkan kepentingan kelompok.
Termasuk, perdebatan di media sosial yang terus terjadi antara pendukung pasangan calon presiden dan wakil presiden. Banyaknya akun anonim yang dibuat untuk menyerang pasangan calon, hingga tersebarnya hoax serta ujaran kebencian yang membabi buta.
Oleh karena itu, faktor yang menjadi penyebab kurangnya keterlibatan pemilih pemula pada Pemilu 2019 harus diretas oleh semua stakeholder pemilu dalam menghadapi pesta demokrasi tahun depan. Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu harus tampil sebagai penyelenggara dengan mengedepankan prinsip penyelenggara pemilu sesuai UU nomor 7 tahun 2017 pasal 3 yaitu, mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, tertib, terbuka, proporsional, profesional, akuntabel, efektif, dan efisien.
Termasuk, aktif memberikan pendidikan politik kepada pemilih pemula tentang pentingnya berpartisipasi dalam pesta demokrasi. Bahkan memberikan literasi akan dampak negatif jika tidak ikut terlibat dalam menentukan kepemimpinan nasional serta wakil rakyat yang akan menjadi penyambung lidah masyarakat.
Partai Politik yang menjadi peserta pemilu juga diharapkan berperan sebagai lokomotif untuk meningkatkan partisipasi pemilu di kalangan pemilih pemula. Dengan memahami dan mengetahui apa yang menjadi keinginan dari anak muda itu sendiri, lalu disajikan melalui program. Termasuk menampilkan calon yang dapat merealisasikan kebutuhan mereka.
Peran aparat keamanan juga sangat dibutuhkan dalam menjemput peluang partisipasi pemilih pemula ini. Dengan hadir sebagai aparat yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bukan hanya di ruang publik, melainkan juga di ruang digitalisasi. Sehingga, aspirasi yang disampaikan oleh Gen Z melalui saluran internet dapat terhindar dari kriminalisasi. Dan, memproses dengan transparan berdasarkan aturan hukum yang berlaku jika terdapat pihak yang dapat merusak pesta demokrasi, salah satunya ujaran kebencian.
Jika hal tersebut terlaksana dengan baik, maka Gen Z akan menjadi peluang besar bagi penyelenggara pemilu untuk meningkatkan partisipasi pemilih. Juga menjadi peluang bagi partai politik untuk meraup suara dalam memenangkan pesta demokrasi. Akan tetapi, jika stakeholder pemilu tidak menjalankan perannya dengan baik, maka Gen Z akan menjadi tantangan besar dan memungkinkan mereka kembali menjadi apolitis. (*)