“Kalau sekadar hanya untuk bersenang-senang, kita insyaAllah bisa mengunggulkan segala kelebihan-kelebihan Indonesia, tapi hati-hati kalau itu yang terjadi, kita tidak bisa bangkit sebagai sebuah bangsa dan lalu introspeksi kenapa itu terjadi?” ingatnya.
Haedar lalu mengutip beberapa beban mendasar seperti hutang negara yang mencapai 8.000 Triliun, hingga masalah korupsi yang mengakar. Indeks korupsi bangsa Indonesia bahkan makin buruk dan tak jauh beda dengan negara berkembang seperti Nigeria dan Bangladesh.
Semua hal ini, kata dia berakar dari sistem pembangunan SDM yang bermasalah, serta lalai akomodasi dari tiga sumber nilai utama bangsa Indonesia, yakni Pancasila, agama, dan kebudayaan luhur bangsa.
“Coba lihat, korupsi juga mestinya tidak terjadi karena agama manapun mengharamkan. Makanlah makanan yang baik dan halal. Tapi sistem bisa dibohongi, secanggih apapun dan makin pinter orang, makin pandai mengakali sistem,” kritiknya.
Penegak korupsi pun, pesan Haedar, termasuk KPK mesti jujur. Kalau tidak jujur hilang legitimasinya sebagai lembaga pemberantas korupsi.
Jujur itu artinya siapapun yang korupsi harus menjadi sasaran pemberantasan korupsi dan tidak boleh ada politisasi korupsi atau penindakan korupsi.
"(Misalnya) Ini dikejar, ini tidak dikejar, yang sudah tampak tidak dikejar, yang belum dicari-cari. Itu politisasi namanya. Kalau itu (terjadi), ambruk (bangsa Indonesia),” imbuh Haedar.
“Maka bagaimana caranya kita bangun negeri ini dengan spirit kebersamaan dan etos kemajuan agar menjadi negeri seperti yang dicita-citakan para pendiri bangsa; merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atau dalam bahasa agama, baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur,” tutup Haedar. (dra/fajar)