Temboknya dicat sedemikian rupa. Pavin blocknya digambari ikan koi yang berbentuk tiga dimensi. Bagian atasnya dilengkapi ornamen, topi petani yang diikat pada kabel yang melintang.
Berbagai jenis tanaman pun ada di sana, terutama stroberi dan sayuran. Ada pula bangunan semacam pos ronda yang ditempatkan di ujung lorong yang buntu.
Bentuknya seperti panggung. Biasa digunakan untuk menjemput tamu, atau sekadar kongko, nonton bareng, dan berkaraoke oleh warga sekitar.
“Jadinya asri. Kayak di kampung-kampung,” celetuk Idris.
Semua itu berubah tidak tiba-tiba. Bukan karena sulap atau sihir. Tapi karena tekad dan kerja keras warga, terutama Akram dan Idris.
Sekiranya Agustus 2019 lalu, Idris dan Akram menginisiasi hal ini. Dimulai dengan membuat bank sampah. Lalu hasil penjualannya dialokasikan untuk membeli cat dan berbagai kebutuhan lainnya.
“Kami mengedukasi warga untuk memilah sampah. Lalu sampah itu kita jemput,” jelas Akram.
Karena warga belum terbiasa, niat baik Akram dan Idris dijalankan tak mudah. Warga telanjur menganggap sampah sebagai barang yang tak berharga. “Sulit ubah mindset,” kata Idris
Lambat laun, mindset warga mulai berubah. Sudah bisa memilah sampah.
Sampah non organik dijual. Sementara yang organik dibuat pupuk kompos. Pupuknya untuk tanaman yang ada di lorong. Lorong itu mereka namai D-Kelor. Akronim dari Dunia Kebun Lorong Organik.
Mulai akhir 2019, D-Kelor mulai dilirik. Beberapa orang datang melancong. Sekadar berfoto atau bertanya-tanya soal pengelolaan D-Kelor.
Wisatawan yang datang pun bukan hanya orang lokal. Beberapa datang dari luar negeri. Pengelola D-Kelor bekerja sama dengan agen travel.