FAJAR.CO.ID, MAKASSAR — Ketika kita bersolek, kita akan dilirik. Kalimat itu yang dipegang Idris dan Akram. Warga RT 4, RW 5, Kelurahan Pandang, Kecamatan Panakukang.
Mereka tinggal di sebuah lorong yang berlokasi di kawasan Jalan Toddopuli. Jika hendak ke sana dari Jalan Hertasning, belok kiri menuju Jalan Toddopuli Raya, setelah itu belok kiri di sebuah lorong. Lalu masuk lorong lagi.
Jalannya terbuat dari paving block. Beberapa bagian bergelombang dan berlubang. Suasananya tenang. Sepi.
Kecuali pada jam salat. Mengingat masjid tak jauh dari situ.
Sebagai warga yang cukup lama menetap di situ, Idris dan Akram bilang dulunya lebih sepi lagi.
Sampah berserakan. Sementara bangunan kosong dibiarkan ditumbuhi semak belukar. Ditambah kondisi yang kumuh, lorong itu memberi kesan angker.
Belum lagi, di persimpangan lorong itu dulunya ada lima bangunan kosong. Warga sekitar memercayai makhluk gaib bermukim di sana.
Mulai dari kuntilanak, makhluk mata merah, hingga kain putih yang kerap beterbangan.
“Inimi yang disebut Lorong Angker. Dulu tidak ada yang berani lewat sini. Disebut mistis. Angker,” ujar Idris dan Akram secara bersamaan, saat ditemui pada Senin (15/5/2023).
“Jadi kalau jam 7 (malam), sudah tidak ada aktivitas di sini. Bahkan kalau mau melintas, jalannya sudah ancang-ancang lari,” kenang Akram.
Dua dari lima bangunan kosong itu kini telah direnovasi pemiliknya. Suasana lorong pun jauh berbeda. Tidak menakutkan seperti yang dikisahkan Akram dan Idris.
Bukan sekadar karena beberapa bangunan itu direnovasi. Tapi karena lorong yang tertata.
Temboknya dicat sedemikian rupa. Pavin blocknya digambari ikan koi yang berbentuk tiga dimensi. Bagian atasnya dilengkapi ornamen, topi petani yang diikat pada kabel yang melintang.
Berbagai jenis tanaman pun ada di sana, terutama stroberi dan sayuran. Ada pula bangunan semacam pos ronda yang ditempatkan di ujung lorong yang buntu.
Bentuknya seperti panggung. Biasa digunakan untuk menjemput tamu, atau sekadar kongko, nonton bareng, dan berkaraoke oleh warga sekitar.
“Jadinya asri. Kayak di kampung-kampung,” celetuk Idris.
Semua itu berubah tidak tiba-tiba. Bukan karena sulap atau sihir. Tapi karena tekad dan kerja keras warga, terutama Akram dan Idris.
Sekiranya Agustus 2019 lalu, Idris dan Akram menginisiasi hal ini. Dimulai dengan membuat bank sampah. Lalu hasil penjualannya dialokasikan untuk membeli cat dan berbagai kebutuhan lainnya.
“Kami mengedukasi warga untuk memilah sampah. Lalu sampah itu kita jemput,” jelas Akram.
Karena warga belum terbiasa, niat baik Akram dan Idris dijalankan tak mudah. Warga telanjur menganggap sampah sebagai barang yang tak berharga. “Sulit ubah mindset,” kata Idris
Lambat laun, mindset warga mulai berubah. Sudah bisa memilah sampah.
Sampah non organik dijual. Sementara yang organik dibuat pupuk kompos. Pupuknya untuk tanaman yang ada di lorong. Lorong itu mereka namai D-Kelor. Akronim dari Dunia Kebun Lorong Organik.
Mulai akhir 2019, D-Kelor mulai dilirik. Beberapa orang datang melancong. Sekadar berfoto atau bertanya-tanya soal pengelolaan D-Kelor.
Wisatawan yang datang pun bukan hanya orang lokal. Beberapa datang dari luar negeri. Pengelola D-Kelor bekerja sama dengan agen travel.
Lalu pada 2021, muncul program Lorong Wisata (Longwis) yang digodok Pemerintah Kota (Pemkot) Makassar.
Wali Kota Makassar, Moh Ramdhan Pomanto, menginginkan tiap kelurahan punya tujuh Longwis. D-Kelor pun dijadikan salah satu titik. Akram dan Idris beserta satu temannya dinobatkan sebagai Dewan Lorong.
“Pemerintah langsung caplok. Kami tidak mengajukan (jadi Longwis),” aku Idris.
Sejak saat itu, bantuan mulai datang dari Pemkot. Seperti tanah, alat penyemprot, cat, dan beberapa penunjang lainnya.
Upaya Akram dan Idris bersolek benar-benar berhasil. Mereka benar-benar dilirik.
Orang-orang yang tertarik berkunjung ke D'Kelor kini tak henti-henti. Akram bahkan mengaku, baru-baru ini agen travel menghubunginya bahwa pelancong dari luar negeri ingin berkunjung ke sana. Tapi ia menolak.
Alasannya, karena kondisi lorong sekarang tak memungkinkan. Kurang terawat. Media tanam beberapa yang rusak.
Karenanya, ia berharap bantuan dari Pemkot. Paling mendasar adalah perbaikan jalan di D-Kelor. Lorong itu kata Akram, ketika hujan turun kerap banjir. Akhirnya merusak media tanam.
Karenanya, ia berharap bantuan dari Pemkot. Paling mendesak, kata dia adalah perbaikan jalan dan penutupan drainase.
Selama ini, jika turun hujan kerap banjir. Akhirnya merusak media tanam dan hanyut.
Kalau jalan diperbaeki, banjir di D-Kelor bisa teratasi. Media tanam tak rusak lagi. Drainase yang ditutup juga bisa dialihfungsikan menjadi lahan baru.
“Jalan kita minta, lalu ditutup drainasenya. Dengan begitu kita bisa manfaatkan bagian atasnya jadi lahan. Karena selama ini kita pakai bambu,” pinta Akram.
“Pemerintah harus peka. Fasilitasi yang kami butuhkan, bukan menyodorkan,” tandas Idris. (Arya/Fajar)