Hindari Produk Hukum Kepemiluan yang Timbulkan Pro dan Kontra

  • Bagikan
Ilustrasi Pemilu 2024. ANTARA/ilustrator/Kliwon

FAJAR.CO.ID, SEMARANG - Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Republik Indonesia merupakan peraturan perundang-undangan turunan dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).

Karena PKPU ini di bawah UU Pemilu, mengandung konsekuensi bahwa suatu peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.

Oleh karena itu, dalam pembahasan rancangan PKPU di Komisi II DPR RI, semua pemangku kepentingan dalam konteks aturan main kepemiluan ini harus cermat.

Menyusun dan menetapkan PKPU untuk setiap tahapan pemilihan umum (pemilu), memang tugas dan wewenang KPU RI. Namun, jangan sampai aturan ini bertentangan dengan UU Pemilu.

Seyogianya PKPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota menjadi catatan KPU RI masa jabatan 2022—2027.

Mahkamah Agung telah membatalkan Pasal 4 ayat (3), Pasal 7 Huruf g PKPU Nomor 20 Tahun 2018 karena bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Kendati demikian, publik jangan terburu menyatakan bahwa Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, khususnya Pasal 8 ayat (2). Mahkamah Agunglah yang berwenang apakah PKPU ini bertentangan dengan UU Pemilu atau tidak.

Pasal itu menyebutkan Dalam hal penghitungan 30 persen jumlah bakal calon perempuan di setiap daerah pemilihan (dapil) menghasilkan angka pecahan maka apabila dua tempat desimal di belakang koma bernilai:
a. kurang dari 50 (lima puluh), hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke bawah; atau
b. 50 (lima puluh) atau lebih, hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke atas.

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan