FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia, Dr. Fahri Bachmid,S.H.,M.H. menilai putusan MK ubah masa jabatan pimpinan KPK menjadi 5 tahun problematis dan multitafsir.
Bukan hanya itu, Fahri juga menyebut perpanjangan masa jabatan itu mengandung sifat multi tafsir jika ada pihak yang mencoba untuk menjustifikasi putusan a quo terhadap eksistensi kepemimpinan KPK saat ini.
"Dalam putusan itu sendiri sama sekali tidak memberikan jalan keluar sebagai konsekwensi diterimanya permohonan ini," ujar Fahri, Sabtu (27/5/2023).
Tambahnya, satu satunya pertimbangan konstitusional yang MK buat, berdasarkan pertimbangan hukum sebagaimana terdapat dalam halaman 117 putusan MK.
"Dengan mempertimbangkan masa jabatan pimpinan KPK saat ini yang akan berakhir pada 20 Desember 2023 yang tinggal kurang lebih 6 bulan lagi, maka tanpa bermaksud menilai kasus konkret, penting bagi Mahkamah untuk segera memutus perkara a quo untuk memberikan kepastian hukum dan kemanfaatan yang berkeadilan," lanjutnya.
Menurutnya, pijakan konstitusional yang diberikan MK kepada pimpinan KPK saat ini merupakan sebuah pranata serta transfer kewenagan transisi sampai dengan bulan desember 2024.
Secara yuridis, kata dia. Ketentuan Pasal 47 UU MK mengatur putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum.
"Secara teoritik putusan MK bersifat prospektif ke depan (forward looking), dan tidak retroaktif ke belakang (backward looking), itu adalah prinsip dasar, sehingga dengan demikian presiden sebagai kepala negara akan diperhadapkan dengan suatu kondisi yang sangat problematis sehingga membutuhkan suatu kehati hatian yang tinggi," kata dia.