Pengagum sastrawan Chairil Anwar dan Pujangga Baru ini mengaku kagum dengan karya-karya sastra mereka yang tidak bosan untuk dibaca. Sebab, karya mereka memuat kisah-kisah pergulatan budaya dikelola sedemikian rupa dalam sebuah cerita, sehingga menjadi menarik dan abadi.
"Di kita ini sebenarnya banyak yang kontradiksi, bukan hanya di karya sastra saja, tetapi juga peninggalan budaya seperti Candi Borobudur yang dibangun sebelum abad 9, bahkan sebelum Renaissance bisa memproduksi satu keajaiban dunia. Tapi setelah itu tidak ada peninggalan lagi, kita mengalami distkontinyu tidak hanya di sastra, produk budaya, tetapi diskontinyu di semua lini," papar Anis Matta.
Dalam industri perfilman misalnya, Indonesia sebenarnya sudah memiliki kemampuan teknis di Industri perfilman, tetapi negara tidak mendukung, dan pemerintah tidak memberikan bantuan untuk membesarkan industri perfilman, semua dikelola oleh swasta.
"Ini juga impian kami di Partai Gelora, kita akan membuat 'Cinema City. Ini lebih strategis bagi pemerintah untuk membuat project seperti ini, daripada project lain. Di situ ada industri perfilmannya, teknolginya perbankan, universitas, dan ekonomi kreatifnya dan lain-lain semua terkumpul di situ," katanya.
Model pembangunan seperti ini, lanjutnya, akan mengurangi ongkos atau pembengkakan biaya pembangunan proyek-proyek, karena semua difokuskan di tempat tersebut, sehingga akan mengakselerasi pertumbuhan dan produktivitas tenaga kerja.
"Tapi itu semua kuncinya juga ada di sistem pendidikan. Kami membayangkan bagaimana pendidikan kesenian itu dapat melahirkan produk kebudayaan, dan menjadi salah satu unggulan utama dari Indonesia seperti halnya Korea. Dengan membungkus keunggulan budaya dengan kemuajuan ekonomi dan kekuatan teknologi, diharapkan Indonesia akan menjadi Superpower baru," pungkasnya. (selfi/fajar)